Orang barat boleh bangga dengan Titanic, tapi
Indonesia harus lebih bangga dengan adanya film yang diangkat dari sebuah novel
terbitan 1963 hasil tulisan Buya Hamka. "Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck".
tak kalah mengharukan kisah cintanya Hayati dan Zainuddin dibandingkan dengan
kisah cinta Rose dan Jack.
film ini disajikan dengan memamerkan salah satu keindahan surganya Indonesia.
Film ini tentang semangat
juang Zainuddin, bagaimana merana dan melaratnya hidup Zainuddin setelah
cintanya ditolak oleh keluarga Hayati. Kemudian beliau bangkit kembali dari
segala kedukaan, membuka lembaran baru dalam hidupnya menjadi seorang penulis
yang ternama dan berjaya. Ia menceritakan tentang kesetiaan, cinta dan kasihnya
Zainuddin terhadap Hayati. Meski Hayati sudah menikah tetapi Zainuddin masih
berbaik hati pada Hayati, lantaran suaminya yang suka berpoya-poya serta tidak
bertanggung-jawab, Zainuddin terus membantu tanpa ada dendam dan benci.
Sesungguhnya cinta yang suci itu akan terus mekar di dalam hati hingga ke ujung
nyawa begitulah cinta antara Zainuddin dan Hayati.
Pemuda yang sejak kecil menjadi yatim piatu
itu berangkat ke Batipuh di Tanah Minang untuk mengenal negeri kelahiran
ayahnya sekaligus menuntut ilmu.
Dalam budaya Minang yang menganut garis
keturunan ibu, Zainuddin yang ibunya berdarah Bugis tak dianggap bersuku
Minang. Sebaliknya, di Makassar pun ia bukan dianggap bangsa Bugis karena
berayah Minang.
Di Batipuh, pemuda miskin yang dianggap tak
bersuku itu jatuh hati pada Hayati (Pevita Pearce), gadis keturunan pemuka
adat. Kisah cinta ini terjalin dengan tatapan mata, senyum tersipu, dan
terutama surat-menyurat.
"Tangan yang begitu halus, mata penuh
kejujuran itu tak akan menyakitkan hati. Percayalah bahwa hatiku baik. Sukar
engkau akan bertemu hati yang begini bersih lantaran senantiasa dibasuh air
mata kemalangan sejak lahir," tulis Zainuddin dalam salah satu suratnya
untuk Hayati.
Cinta itu berbalas. Namun, Zainuddin diusir
dari Batipuh karena percintaan santun kedua insan ini tak dianggap pantas. Ia
pun berangkat ke Padang Panjang.
Lalu, cerita bergulir membawa cinta mereka
dalam kemalangan. Zainuddin pindah ke Batavia dan kemudian bertemu lagi dengan
pujaannya itu di Surabaya. Bahkan, ketika pemuda ini telah bergelimang harta,
hatinya tetap melarat karena harapan akan Hayati yang hilang.
Pentingnya asal suku dan garis keturunan dipotret dengan baik di sini. Di sisi lain, berpegang pada adat dan tradisi pun membentur tantangan di tengah arus perubahan zaman oleh gelombang budaya kolonial Belanda.
Dalam novel ini, Hamka mengkritik beberapa
tradisi yang dilakukan oleh masyarakat pada saat itu terutama mengenai kawin
paksa. Kritikus sastra Indonesia Bakri Siregar menyebut Van der Wijck sebagai
karya terbaik Hamka, meskipun pada tahun 1962 novel ini dituding sebagai
plagiasi dari karya Jean-Baptiste Alphonse Karr berjudul Sous
les Tilleuls (1832).
Diterbitkan sebagai novel pada tahun
1939, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck terus mengalami cetak
ulang sampai saat sekarang. Novel ini juga diterbitkan dalam bahasa Melayu sejak tahun 1963 dan telah menjadi bahan
bacaan wajib bagi siswa sekolah di Indonesia dan Malaysia. Sekolah saya salah satunya, karena saya mengambil
jurusan bahasa maka mau tidak mau harus tau sastra-sastra zaman dahulu. Dan jujur
saya awalnya tidak tertarik dengan novel ini, tapi karena tuntutan jurusan
akhirnya saya membacanya. Dan setelah membaca ada penyesalan dalam hati, kenapa
tidak dari dulu membacanya =D
Terima kasih banyak kepada Haji
Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan
nama Hamka. Karyamu abadi
sepanjang masa, se-abadi cinta Zainuddin dan Hayati ~~~
watched with +Lian Kosasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar