Tugas UAS Semester 2 Mata Kuliah Ilmu Budaya
Kata
Pengantar
Assalamu’alaikum
warahmatullah wabarakatuh
Segala puji
penulis ucapkan kepada Allah SWT, yang menggenggam nyawa kehidupan sekaligus
yang berhak untuk mengambilnya kembali. Shalawat serta salam semoga Allah
sampaikan kepada Insan Kamil pilahan Tuhan, serta keluarga terkasih beliau, dan
juga sahabat-sahabat setianya.
Penulis
ingin berterima kasih yang teramat sangat kepada kedua malaikat titipan Tuhan,
yaitu Ayah dan Ibu, berkat segala doa dan dukungannyalah makalah ini dapat
terselesaikan. Juga kepada teman-teman dan kakak tingkat yang telah banyak
membantu menuangkan ide-idenya. Penulis juga ingin memberikan ucapan terima
kasih yang sangat spesial kepada dosen pembimbing, yaitu Bapak Ir. Ahmad
Jubaeli.
Dalam
makalah ini penulis merasa masih banyak memiliki kekurangan. Oleh karena itu
kritik dan saran yang dapat membangun sangatlah penulis harapkan, agar makalah
ini menjadi lebih baik lagi. Penulis berharap makalah ini dapat berguna dan
bermanfaat.
Jakarta, 30 Juni 2014
Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia adalah salah satu makhluk yang paling menarik,
oleh karena itu tidak mengherankan jika banyak penelitian menggunakan manusia
sebagai objek kajiannya. Hal-hal yang dibahas dalam penelitian berkisar kepada
pertanyaan, adakah ciri-ciri atau karateristik seseorang bisa disebut manusia,
apa yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya, adakah perbedaan yang mendasar antara manusia
satu dengan yang lainnya, dan lain-lain.
Setelah
mengetahui apa hakikat dari manusia, sangatlah penting bagi kita mengkaji
kepada tingkatan manusia yang lebih tinggi yaitu manusia sempurna, dengan kata
lain bahwa kita sebagai manusia mempertanyakan keberadaan manusia sempurna. Hal
yang mendasari mengapa manusia mencari pengetahuan tentang manusia sempurna adalah
kebutuhan atau kecendrungan manusia itu sendiri yang menginginkan terhadap
kesempurnaan, agar pengetahuan tentang kesempurnaan tersebut dapat
direalisasikan ke dalam hidupnya, dan untuk lebih mendekatkan diri kepada yang
maha sempurna.
Seperti
yang kita ketahui bahwa terdapat perbedaan pandangan tentang manusia sempurna,
dan hal ini timbul karena adanya sudut pandang yang berbeda dan latar belakang
pengetahuan yang juga berbeda. Dalam makalah ini penulis berusaha menyajikan
beberapa pandangan yang berbeda tentang manusia sempurna; manusia sempurna
dalam prespektif Ilmu Budaya, Islam, dan Pendidikan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang di atas, maka rumusan
masalah yang Dapat diajukan adalah sebagi berikut:
- Apa yang dimaksud dengan manusia?
- Seperti apakah manusia sempurna itu?
- Bagaimanakah Islam, Budaya, serta Pendidikan membahas
masalah manusia sempurna?
1.3 Tujuan
Adapun beberapa tujuan penulisan makalah ini adalah:
- Memahami hakikat manusia.
- Memahami makna dari manusia sempurna.
- Dapat mengetahui bagaimana Islam, Budaya, serta
Pendidikan membahas masalah manusia sempurna.
1.4 Manfaat
Manfaat dibuatnya makalah ini adalah untuk
meningkatkan dan Menambah pengetahuan penulis dan pembaca tentang Manusia
Sempurna dalam perspektif Ilmu Budaya, Islam, dan Pendidikan.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Budaya
Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) Budaya adalah pikiran, akal budi, adat istiadat yang
sudah berkembang menjadi kebiasaan suatu kelompok dan sukar untuk di ubah.
Kebudayaan adalah nilai adat istiadat khas suatu golongan sosial dalam
masyarakat yang menjadi ciri khas dalam golongan atau kelompok tersebut.
Budaya terbagi menjadi dua yaitu budaya yang bersifat material dan
non-material. Budaya yang bersifat material yaitu hasil cipta, karya, karsa,
yang memiliki wujud nyata berupa benda. Sedangkan budaya yang bersifat
non-material yaitu yang tidak berwujud, seperti suatu tata cara melakukan suatu
pekerjaan yang tumbuh dalam suatu masyarakat, kebiasaan-kebiasaan; perbuatan
yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama menjadi ciri khas dari suatu
kelompok, kemudian norma-norma, tata kelakuan dan kesusilaan yang tumbuh dan
mendarah daging dalam masyarakat dan sukar untuk diubah.
Budaya adalah hasil pikiran manusia, kemudian disepakati oleh suatu kelompok
masyarakat dan melekat menjadi satu dengan masyarakat tersebut juga menjadi
ciri khas mereka. Budaya dalam suatu kelompok masyarakat mempengaruhi pandangan
hidup mereka dalam menjalani hidup, dengan kata lain budaya menjadi tolak ukur
mereka untuk melakukan sesuatu dan juga menjadi sudut pandang mereka dalam berpikir.
2.1.1 Manusia dalam Ilmu Budaya
Secara etimologi, kata manusia berasal dari Bahasa
yaitu “manu” (Sansekerta) atau “mens” (Latin) yang berarti
berpikir atau berakal budi. Sedangkan dalam ranah lingkungan manusia diartikan sebagai
suatu organisme hidup. Lingkungan sangat berperan terhadap pembentukan
kepribadian seseorang dan sudut pandang pemikirannya.
Seperti yang telah dikatakan dalam pembahasan definisi
Budaya bahwa budaya adalah tidak lain dari hasil dari pemikiran manusia,hasil
cipta, karya, karsa manusia. Manusia dialah yang menggunakan akal pikirannya sebelum
bertindak. Manusia dalam budaya adalah sebagai pelaku budaya dari budaya itu
sendiri. Berkat kodratnyalah manusia bersifat kebudayaan,[1]
dengan kata lain, seluruh hidup
manusia tidak akan pernah lepas dari suatu budaya selama manusia tersebut
memiliki akal yang sehat untuk berpikir
yang tidak lain bertujuan membuat budaya baru dalam suatu lingkungan
maupun dalam mengikutsertakan dirinya dalam suatu budaya yang sudah ada.
Manusia bukanlah hanya seonggok daging yang bernyawa,
atau makhluk yang serupa dengan binatang dengan kata lain hanya membatasi
dirinya dalam berburu mencari makan untuk memenuhi hasrat perutnya dan mencari
tempat untuk berlindung, tetapi manusia juga memiliki keistimewaan tersendiri
yang tidak dimilki oleh makhluk lainnya, yang membedakan dirinya dengan makhluk
lainnya yaitu akal yang dimiliki manusia untuk berpikir yang mana dengan
memfungsikan akal tersebut untuk mengembangkan kualitas hidupnya menjadi lebih
baik, dan sebagai makhluk budaya yang tidak dapat melanjutkan spesiesnya tanpa
adanya pengembangan masyarakat dan peradaban.
Jika kita melihat manusia secara hakiki adalah makhluk
berbudaya, maka adalah sebuah tuntutan atau kewajiban bagi manusia tersebut memiliki
dan memfungsikan akal budi, dengan kata lain manusia diharuskan memaksimalkan
akal budinya untuk kelangsungan hidupnya.
Dengan berbudaya, manusia dapat
menjadi benar-benar manusiawi, karena budayalah yang mengahantarkan manusia
kepada kebenaran eksistensinya sebagai makhluk yang sempurna dengan akal
budinya.
2.1.2
Manusia Sempurna dalam Budaya
Manusia adalah sebagai pelaku budaya, yaitu budaya sebagai objek yang
dilakukan manusia. Suatu budaya pasti memiliki paham atau pandangan yang mana
paham itulah yang akan mempengaruhi masyarakat dalam bertindak maupun berpikir.
Dari sinilah budaya akan membentuk sendiri pengetahuan tentang manusia sempurna
menurut paham maupun pandangan mereka. Dengan kata lain manusia sempurna dalam
budaya tidak lain ditunjuk oleh suatu kelompok yang berbudaya, dengan
konsep-konsep manusia sempurna yang mereka miliki menjadi tolak ukurnya.
Seseorang akan disebut manusia sempurna apabila orang tersebut telah
memenuhi kriteria manusia sempurna yang dipahami oleh suatu budaya. Begitulah manusia sempurna dalam perspektif
budaya, contohnya seperti dalam budaya Bali. Di Bali, manusia sempurna disebut
manusia suci atau orang suci atau Rsi. Mereka dinobatkan menjadi orang suci
atau sempurna yang memiliki pengetahuan dan tingkat spiritulitas lebih dari
manusia biasa lainnya dan karena
itulah mereka dianggap telah memenuhi
kriteria manusia suci dalam paham budaya Bali.
2.1.3 Karateristik Manusia Sempurna dalam Budaya
Kateristik atau ciri manusia sempurna dalam budaya juga bergantung
kepada pemahaman mereka atau konsep mereka dalam menilai manusia seperti apakah
manusia sempurna. Konsep manusia sempurna dalam budaya satu dengan budaya yang
lain selalu memiliki perbedaan, yang dikarenakan paham mereka atau latar
belakang mereka yang berbeda.
Seperti contoh dalam budaya Bali karena latar belakang mereka adalah
agama Hindu, mereka mempunyai karateristik sendiri terhadap manusia sempurna
yaitu seperti memiliki mata batin dan dapat memancarkan kewibawaan rohani,
mempunyai kekuatan untuk menerima getaran-getaran gaib, terdapat nilai-nilai
ajaran Hindu dalam kesehariannya, mempunyai kasih sayang terhadap sesame,
meiliki kemurnian ahir batin, tidak terpengaruh oleh gelombang suka duka dan lain-lain.
Karateristik ini tidak semuanya bisa kita letakkan dalam budaya lain,
contohnya manusia sempurna harus mengamalkan ajaran-ajaran agama Hindu di dalam
kesehariannya, karateristik ini tidak bisa kita letakkan kepada budaya yang
memilki paham yang berbeda dengan budaya Bali yang bermuara kepada ajaran
Hindu, karena tidak semua budaya mengandung ajaran agama Hindu seperti budaya
yang dibangun dalam STFI Sadra yang berlatar belakang Islam. Jadi, paham suatu
budaya akan mempengaruhi karateristik manusia sempurna dalam budaya tersebut,
dan karateristik manusia sempurna satu budaya tidak sama dengan budaya yang
lainnya.
2.2 Islam
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesi KBBI Islam adalah
agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw, dimana berpedoman kepada kitab suci
Al Quran yang diturunkan kedunia melalui wahyu Allah swt dan Al Hadis yaitu
sabda, perbuatan, ketetapan Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan oleh sahabat
untuk menetapkan atau menentukan hukum dalam masyarakat.
2.2.1 Manusia dalam Islam
Saat
kita membahas sesuatu dalam ranah agama, kita akan merujuk kepada pedoman atau
kitab yang dimiliki oleh agama tersebut. Oleh sebab itu, untuk mengetahui makna
hakikat dari manusia dalam perspektif Islam, kita harus merujuk kepada pedoman
atau kitab yang dimiliki oleh agama Islam yaitu kitab suci al-Qur’an. Di dalam
al-Quran kata manusia disebutkan dalam beberapa istilah, yaitu antara lain al-insaan, an-naas,
al-abd, bani adam dan sebagainya. Al-insaan berarti suka, senang, jinak, ramah,
atau makhluk yang sering lupa. An-naas berarti manusia (jama’). Al-abd berarti
manusia sebagai hamba Allah. Bani adam berarti anak-anak Adam karena berasal
dari keturunan nabi Adam As.
Dalam
al-Qur’an dan al-Sunnah menyebutkan bahwa manusia merupakan makhluk ciptaan
Tuhan yang paling mulia serta memiliki berbagai bakat dan potensi, juga
mendapatkan petunjuk kebenaran dalam menjalani kehidupan di dunia dan akhirat.
Sebagaimana dalam firman Allah: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia
dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (at-Tin: 5). Dan di dalam al-Quran juga menyebutkan
bahwa manusia sebagai khalifah yang berarti pemimpin, yaitu wujud
manusia sebagai pemegang mandat Tuhan di bumi,
sebagaimana dalam firman-Nya “Inni jâ’ilun fi al-ardi khalifah”
(sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi, QS.
Al-Baqarah: 3).
Al-Ghazali berpendapat bahwa manusia itu terdiri dari
dua unsur yang berbeda, yakni tubuh (al-jism) dan jiwa (al-nafs).[2]
Tubuh hanyalah berupa badan yang bisa digerakan, karena tubuh bersifat materi,
maka tubuh tidak kekal , yang mana ketika ia mati maka selesailah ia. Tubuh
tidak dapat sempurna tanpa unsur yang lainnya.
Al-Ghazali mengemukakan beberapa istilah dalam esensi
manusia, yaitu al-nafs, al-qalb, al-ruh, dan al-‘aql. Kata-kata tersebut
kata-kata yang mempuyai makna yang sama. Jiwa (al-nafs) bersifat immateri, dan
jiwa yang dimaksud di sini bukan hanya sekedar pelengkap tubuh ataupun
badan yang mana berfungsi sebagai
pendorong untuk mencari kebutuhan makanan, bukan hanya berupa kekuatan yang
mendorong syahwat dan emosi, tetapi hakikat jiwa adalah esensi dari manusia itu
sendiri.
Al-Ghazali
menyimpulkan bahwa esensi manusia adalah substansi immaterial yang berdiri
sendiri, bersifat Ilahi (berasal dari alam al-amr), tidak bertempat
dalam badan, bersifat sederhana(bashihat), mempunyai kemampuan
mengetahui dan menggerakkan badan, diciptakan (tidak qadim), dan bersifat kekal
pada dirinya.[3]
2.2.2 Manusia Sempurna (Insan Kamil) dalam Islam
Menurut Murtadha Muthahhari ilmuwan Islam dalam bukunya
yang berjudul “Manusia Seutuhnya”, Insan kamil adalah manusia teladan
atau manusia ideal. Islam sendiri memiliki pandangan bahwa wajib
hukumnya mengenal insan kamil atau manusia ideal, manusia yang dijadikan
standar, pedoman, dan teladan yang akan dijadikan panutan bagi setiap muslim di
dunia.
Manusia sempurna (insan kamil) di ukur dari Al Quran
yaitu manusia yang memenuhi ciri-ciri individu Islam, yang mengamalkan ajaran
Islam dalam hidupnya. Perlu bagi kita
sebagai seorang muslim mengenal lebih dekat siapa manusia sempurna, yaitu
dengan melihat kepada kepribadiannya sehari-hari, dan tingkah lakunya, dan
mencari tahu apa yang membedakan manusia sempurna tersebut dengan manusia
lainnya.
sampai pada abad ketujuh Hijriah, belum pernah
terdengar istilah insan kamil dalam literatur-literatur Islam. Orang
pertama yang mencetuskan istilah ini ialah seorang arif tersohor bernama
Muhyiddin Al-Arabi Al-Andalusi Ath-Tha’i, sekarang istilah ini pun banyak
dipakai di Eropa. Beliau adalah bapak ‘irfân Islam.[4]
2.2.3 Karateristik Manusia Sempurna (Insan Kamil)
dalam Islam
Karateristik
manusia sempurna dalam Islam manusia yang memiliki intelek tinggi melebihi
manusia biasa. Adapun karateristik manusia Antara lain
Yang
pertama adalah pendapat Murtdha Muthahari di dalam bukunya “Manusia
Seutuhnya” Terdapat dua cara untuk
mengenal insan kamil menurut pandangan Islam:
Pertama,
dengan melihat sebagaimana yang telah digambarkan dalam al-Qur’an dan al-Hadits
tentang manusia sempurna tersebut (walaupun sebenarnya al-Qur’an dan al-Hadits
sendiri tidak menyebutnya dengan istilah insan kamil tetapi menyebutnya dengan
istilah ta’bir muslim kamil dan mukmin kamil), dengan kata lain
bahwa wajib bagi kita sebagai muslim yang mempercayai kitab suci Al Quran
sebagai pedoman, hendaknya merujuk kepada Al Quran, seperti apakah manusia
sempurna itu.
Kedua,
yaitu dengan mengenal secara langsung individu-individu yang diyakini sesuai
dengan kriteria yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an dan al-Hadits. Yang
dimaksudkan mengenal bukan hanya dengan mengetahui identitas mereka, melainkan
dengan mengenal keribadian dan tingkah laku mereka, sebagaimana kita
mengenalnya dan sebagaiman kita mengamalkan apa yang diajarkannya dan dengan
menjadikan mereka sebagai panutan hidup.
Meyakini
mereka bahwa sifat dan karakter mereka bukanlah sekedar hayalan imajinasi,
bukan sekedar omong kosong belaka atau dongeng semata, melainkan insan kamil
yang nyata wujudnya, yang mana berawal dari tingkat yang paling rendah, tinggi, hingga ke tingkatan
yang paling tinggi.
Selanjutnya adalah karakteristik insan kamil dalam
islam menurut Dr. Seyyed Mohsen Miri dalam bukunya yang berjudul Sang Manusia
Sempurna:
Pertama,
Manusia Sempurna merupakan makhluk mistik, memiliki kekuasaan untuk membuat
sesuatu di dunia eksternal, hanya dengan memikirkan apa yang diinginkan maka
akan terwujud dengan mengatakan kun (jadilah) maka terjadilah. Yang
dimaksudkan adalah manusia yang mencapai pada posisi stasiun ada “maqam kun”
dengan kata lain bahwa apa yang dia inginkan akan terwujud hanya dengan
mengatak kata kun (jadilah)dan fayakun (maka terjadilah).
Manusia
Sempurna adalah manusia yang memiliki kebersihan batin, pencerahan jiwa melaui
cahaya ketaatan , persahabatan, dan cinta Ilahi; mencapai kefanaan dengan
Hakikat; dan menerima keabadian melalui
keabadian-Nya—juga telah mencapai suatu posisi sebagaimana pikiran menimbulkan
konsep objektif dan Tuhan dalam menciptakan eksistensi eksetrnal untuk
mengaktualisasikan sesuatu pada eksternal hanya melalui kehendak-Nya.[5]
Manusia
Sempurna ialah yang telah melakukan perintah-Nya hingga mencapai seluruh level
eksistensi, ia akan memperoleh keistimewaan dari Sang Pencipta. Seluruh
ibadahnya akan dianggap berada di seluruh alam, bahkan di letakan di kerajaan
hati-batinnya para malaikat, dan akan mendapatkan pelayaan dari seluruh
eksistensi yang ada.
Kedua,
ketika Tuhan mentransformasikan aspek batin dan jiwa Manusia Sempurna melalui
manifestasi-Nya, maka ia akan dibangkitkan kembali di dunia ini sebelum
memasuki dunia akhirat.[6]
Setelah itu ia akan dibangkitkan dari kuburan yang fisiknya bermateri dan
secara sukarela akan meninggalkan duniawinya untuk hidup di dunia yang telah
disiapkan Tuhan untuknya dan meninggalkan jasadnya di dunia ini. Atas ijin
Tuhan, di dunia barunya Manusia Sempurna diberikan kemampuan untuk dapat
melihat sesuatu yang tersingkap, sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh manusia
biasa yang bermateri, berjasad, dan yang memiliki hasrat keinginan. Ia juga
dapat mencari seperti apa akhirat tanpa harus mati terlebih dahulu seperti
manusia biasa.
Ketiga,
Manusia Sempurna yang telah mengetahui hakikat kebenaran akan manifestasi
Tuhan, dengan pertimbangan dan keyakinan yang kuat ia akan menolak adanya kesempurnaan
lain selain Allah swt. Oleh sebab itu, ia akan dengan mudah pulang menuju
esensi-Nya tanpa adanya halang rintang yang menghadang. Berbeda dengan manusia biasa. Manusia biasa hanya akan menuju
Tuhan melalui sifat-sifat dan nama-nama
Tuhan yang tertentu saja, sedangkan sifat-sifat dan nama-nama yang lain
terhijab, tertutup dan tidak dapat dilihat oleh mereka manusia biasa.
Keempat,
Manusia Sempurna yang telah mencapai pada Hakikat dan fana pada-Nya akan
mendapatkan kehidupan dari eksistensi-Nya yang kekal, bukan hanya sekedar objek
yang dapat berubah. Ia yang telah mencapai pada dunia Tuhannya akan merasakan
sensasi yang berbeda dan luar biasa hebatnya, sehingga membuatnya ingin selalu
bersama-Nya dan tidak mengingkan yang lain selain-Nya. Apa yang telah ia
rasakan adalah perasaan yang khusus Tuhan berikan padanya.
Kelima,
Tuhan telah memberikan keyakinan yang sebenarnya kepada Manusia Sempurna dan
telah mencabut segala bentuk kemusyrikan, sehingga yang ia yakini hanyalah
kekuasaan Tuhan semata.
Keenam,
seorang manusia yang telah mencapai kedudukan Manusia Sempurna akan memiliki
nur Ilahi dan manifestasi dari esensi, sifat-sifat, dan nama-nama Tuhan
tersebut dalam semua level, ketika ia mencapai pada level tertinggi maka semua
yang ada pada dirinya menjadi sempurna. Ia pun mendapatkan kepercayaan dan
mengemban tugas dari Tuhan. Manusia Sempurna selalu amanah dalam menjalankan
perintah Tuhannya, dan ia akan mengenakan pakaian kepercayaan itu selamanya
sampai akhirnya ia dimuliakan dengan pakaian kepercayaan yang baru.
Ketujuh,
seorangan manusia sempurna telah memutuskan hubungan duniawinya, ia telah
menghilangkan cintanya terhadap dunia materi ini. Jiwa dan hatinya hanya akan
dipenuhi oleh rahmat Tuhan dan cintanya
kepada Tuhan melebihi yang dimiliki eksistensi yang lain. Karena cinta kepada
Tuhan adalah level cinta tertinggi, dan Manusia Sempurna dapat mencapai level
tertinggi tersebut.
Setelah
penjabaran dua pendapat dari dua ilmuwan Ilsam di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa ciri-ciri atau karateristik insan kamil dalam Islam adalah ia memiliki
keimanan yang utuh dan menyeluruh kepada Allah swt, seluruh amal yang ia
perbuat semata-mata hanya untuk Allah swt dan tidak lalai dalam kewajiban
dunia, berakhlak mulia, amanah, dan mencerminkan sifat-sifat Allah secara
menyeluruh.
2.3 Titik Temu Islam dan Budaya Mengenai Manusia
Sempurna (Insan Kamil)
Manusia sempurna dalam budaya yaitu manusia yang
memenuhi kriteria manusia sempurna menurut paham dan pandangan suatu budaya.
Seperti yang dikatakan bahwa karateristik manusia sempurna dalam suatu budaya
berbeda dengan karateristik budaya lainnya, dengan kata lain bahwa ciri suatu
budaya tentang manusia sempurna bergantung kepadaa pemahaman mereka tentang
manusia sempurna. Sedangkan didalam Islam, manusia sempurna (insan kamil) adalah
manusia ideal yang mengamalkan ajaran Islam, yang mencerminkan sifat-sifat
Allah swt secar menyeluruh dan berakhlak baik pantas menjadi pedoman dan
panutan bagi manusia lainnya khususnya muslim lainnya.
Tetapi walaupun terdapat banyak perbedaan, jika dilihat
secara umum juga terdapat kesamaan konsep manusia sempurna di semua
budaya dengan konsep manusia sempurna dalam Islam, yaitu manusia yang memiliki nilai-nilai
kebaikan dalam semua perilakunya, memiliki kecerdasan melebihi manusia lainnya,
memilki keseimbangan jiwa, dapat mengontrol diri dari nafsu dan akhirnya, titik
temu konsep manusia sempurna dalam budaya dan Islam yaitu manusia yang dapat
memfungsikan akalnya dengan baik melebihi manusia lainnya.
2.4 Nilai Keunggulan Konsepsi “insan Kamil” Islam dan
“Manusia Sempurna” Budaya
Keunggulan Insan Kamil dalam Islam:
· Seorang hamba yang telah menjadi insan kamil bisa
menghasilkan apapun yang mereka inginkan, tanpa memrlukan adanya persiapan,
kondisi, dan waktu.
· Dapat melihat sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh
manusia biasa, juga dapat mencari bentuk akhirat tanpa harus menunggu kefanaan
dan kematian terlebih dahulu.
· Insan kamil berpulang menuju esensi Tuhan tanpa ada
halang rintangan. Berbeda dengan eksistensi yang lain, mereka harus melalui
proses terlebih dahulu untuk kembali kepada Tuhan.
· Seorang hamba yang telah mencapai insan kamil akan
merasakan kebahagiaan yang tidak bisa dilukiskan kata-kata.
· Menyatunya hamba dengan Tuhannya.
· Mengemban tugas dengan mendapatkan kepercayaan dari
Tuhannya.
· Dapat mencapai level tertinggi dalam mencintai
Tuhannya,
Keunggulan Manusia Sempurna dalam Budaya:
·
Lebih dapat diterima oleh masyarakat, khususnya kelompok atheis yang
tidak mempercayai Tuhan, yang menolak konsep ketuhanan. Karena, dalam budaya
manusia sempurna dipilih oleh masyarakat dalam suatu budaya. Tidak seperti
konsep Manusia Sempurna dalam Islam yang ada campur tangan Tuhan.
2.5 Kiat-Kiat Menjadi Insan Kamil
Ada beberapa kiat-kiat yang harus dilalui untuk
menjadi insan kamil, yaitu:
1.
Takhalli
Takhalli secara etimologi berasal dari kata khalla yang
berarti mengosongkan, menghentikan, lepas atau bebas. Jadi takhalli bermakna
pengosongan (tafarrugh), penghentian, pencegahan, pelepasan (tabarru’),
atau pembebasan.[7]
Pada tahap awal ini manusia harus melalui proses takhalli terlebih dahulu.
Takhalli ialah tahap awal dalam membina jiwa untuk mendekatkan diri kepada
Allah SWT.
2.
Tahalli
Amatullah
Amstrong memaknai tahalli sebagai berikut[8]:
“Berhias dengan sifat-sifat Tuhan. Namun perhiasan paling sempurna dan paling
murni bagi hamba adalah berhias dengan sifat-sifat penghambaan. Penghambaan
(‘ubudah) adalah pengabdian penuh dan sempurna yang sama sekali tidak
menampakkan tanda-tanda keutuhan (rububiyyah). Dengan kata lain, hamba
menjadi Ia syay (bukan apa-apa).” Setelah melaui proses pembinaan dan
pengosongan hati, maka tahap selanjutnya adalah menghiasi atau mengisi hati
dengan melakukan hal-hal positif. Beribadah penuh kepada Tuhan dan melakukan
kebiasaan-kebiasaan baik.
3.
Tajalli
Setelah
seseorang telah berhasil melalui proses takhalli dan tahalli, maka Tuhan akan
menampakkan wujud-Nya Yang Maha Tunggal kepada hambanya. Tujuan utama seseorang
ialah menyatu dengan Tuhannya Yang Tunggal,dan Tuhan telah membuka hijabnya.
Dalam aliran sufistik, proses tersingkapnya tirai dan penerimaan nur
ghaib dalam hati seorang meditator (orang yang melakukan meditasi) disebut Al-Hal,
yaitu proses penghayatan ghaib yang merupakan anugrah Tuhan dan diluar adikuasa
manusia[9].
Setelah melalui
ketiga proses tersebut maka seseorang hamba akan merasakan tenggelam dalam
cahaya-Nya. Nur yang selama ini tersembunyi dalam dirinya telah menampakkan
wujudnya. Seorang hamba tidak akan pernah mengalami tajalli yang sama dengan hamba yang lain, karena
kualitas usaha yang dilakukan setiap hamba berbeda-beda. Tajalli tidak akan
mampu diungkapkan dengan kata-kata, karena tidak ada seorang pun yang mampu
mengungkapkan keindahan Dia Yang Maha Sempurna.
2.5.1 Prototipe Insan Kamil dalam Kehidupan Rasulullah
dan Generasi Penerusnya
Seperti
yang telah dijelaskan dalam pembahasan manusia sempurna dalam Islam, bahwa manusia
sempurna (Insan kamil) adalah orang yang memiliki seluruh manifestasi
nama-nama dan sifat-sifat Tuhan dengan level tertinggi, ia juga yang menjadi
panutan dan teladan bagi umatnya. Umat Islam di seluruh dunia sepakat bahwa
Nabi Muhammad SAW adalah manusia yang telah mencapai derajat tertinggi
kesempurnaan sebagai utusan Tuhan. Segala perilakunya menjadi panutan, tutur
kata dan budinya menjadi tauladan. Tidak menutup kemungkinan bahwa setiap orang
memiliki kesempatan untuk menjadi insan kamil, namun hanya satu orang
yang sampai pada tingkatan tertinggi dalam derajat insan kamil, yaitu Nabi
Muhammad SAW.
Nabi
Muhammad adalah Manusia Sempurna yang multidimensi. Dalam hal spiritual tidak
akan ada yang se-sempurna Muhammad, selain itu juga dalam kehidupan sosial
beliau sangat peduli terhadap kondisi masyarakatnya, beliau rela mengorbankan
diri, hartanya, bahkan keluarganya untuk kepentingan sosial.
Selain
Nabi Muhammad SAW, masih ada Ali bin Abi Thalib yang juga dijadikan panutan dan
teladan umat Islam. Pada saat Ali a.s. telah selesai dari urusan masyarakat,
akan kita lihat hanya ada dia dan Tuhannya, dia dan khalawatnya, dia dan
munajat isqiyyah-nya dan dia dengan ibadah khusyu’nya.[10]
Bukan
hanya dekat dengan Tuhannya, Imam Ali a.s. juga sangat dekat dengan umatnya.
Kedermawanannya telah tersohor, ia adalah orang miskin yang sangat dermawan. Ia
juga tidak pernah melewatkan satu hari tanpa bersedekah. Beliau juga sangat
bijaksana dalam mengambil keputusan, tidak pernah salah dalam bertindak.
Pada
bukunya Murtadha Muthahhari yang berjudul Manusia Seutuhnya pada halaman 90, ia
menceritakan tentang kebaikan yang terpancarkan dalam diri Ali a.s. Pada saat
Pasukan Imam Ali a.s. dan pasukan Muawiyah sudah saling berdekatan dengan di
suatu tempat di sekitar sungai Furat. Muawiyah memerintahkan pasukannya untuk
lebih dulu menduduki daerah sepanjang tepi sungai, sehingga dapat mencegah Ali
a.s. dan pasukannya mencapai air. Pasukan Muawiyah demikian gembira setelah berhasil menguasai
sungai. Mereka yakin dengan menguasai air, mereka akan mampu memaksa pasukan
Ali a.s. menyerah karena kehausan.
Ali
a.s. berkata kepada pasukannya:
“Sebaiknya
kita selesaikan masalah ini secara damai untuk menghindari terjadinya
peperangan dan pertumpahan darah. Lilitan benang yang masih dapat diurai dengan
tangan tidak perlu diurai dengan gigi.”
Kemudian
beliau memperingatkan Muawiyah:
“Kami
belum lagi sampai, tetapi engkau sudah mengambil tindakan yang demikian tidak
terpuji!”
Demi
mendengar peringatan itu, Muawiyah segera membentuk dewan strategi perang dan
membahas masalah tersebut dengan para panglima dan komandan perangnya. Ia
berkata: “Apa pendapat kalian? Kita beri jalan kepada mereka atau tidak?”
sebagian mengatakan, sebaiknya mereka diberi jalan, sedang sebagian yang lain menolak.
Amr bin Ash berkata: “Bukalah jalan untuk mereka! Kalau tidak , mereka akan
segera datang menyerbumu dan sekaligus mempermalukanmu.” Namun pada akhirnya
mereka memutuskan untuk tidak memberikan jalan dan memaksa perang pada Ali a.s.
Di
sinilah Ali a.s. meneriakkan sebuah orasi heroik di hadapan bala tentaranya,
yang pengaruhnya lebih besar dari seribu genderang dan terompet disertai dengan
seribu mars. Ali a.s. bersabda:
“Muawiyah
telah mengumpulkan orang-orang sesat untuk mencegah air dari jangkauan kalian.
Tahukah kalian apa yang mereka lakukan? Mereka telah menuutup jalan kalian air.
Wahai sahabat-sahabatku! Hauskah kalian? Adakah kalian menginginkan air?
Tahukah kalian apa yang harus dilakukan? Segarkan pedang-pedang kalian dengan
darah-darah najis mereka, setelah itu segarkan diri kalian dengan air sungai
Furat”.
Kemudian,
beliau menyampaikan sebuah kalimat mengguncangkan jiwa setiap yang mendengar:
“Ayyuhannas!
Tahukah kalian apakah kehidupan itu? apakah maut itu? apakah kehidupan itu
adalah berjalan di atas bumi, makan minum dan tidur? Apakah maut itu adalah
tidur di bawah tanah? Tidak. Hidup dan maut bukanlah demikian. Kehidupan adalah
kalian mati tetapi menang (terbebas dari kekangan), sedang kematian adalah
kalian hidup tapi tertindas.”
Kalimat
ini begitu membakar semangat juang bala tentara Imam Ali as, sehingga hanya
kekuatan maha dahsyat yang sanggup menghadang mereka.
Maka,
hanya dengan satu atau dua serangan, tentara Ali a.s. berhasil mengusir pasukan
Muawiyah dari sekitar Furat dan menjauhkan mereka bermil-mil dari sungai itu.
pasukan Ali a.s. telah berhasil menguasai Furat sedang pasukan Muawiyah terusir
jauh tanpa air. Muawiyah mengirim seorang untuk memohon air dari pasukan Ali
a.s. Sahabat-sahabat Ali a.s. berkata: “Mustahil kami akan memberi air kepada
orang yang telah mencegah kita dari air.” Namun, Ali a.s. menyela dan berkata:
“Aku tidak akan membalas kejelekan dengan kejelekan. Aku tidak akan membalas
kelicikan dengan kelicikan. Aku berhadapan dengan musuh di medan perang, tetapi
aku sama sekali tidak mau meraih kemenangan dengan jalan seperti itu. Meraih
kemenangan dengan jalan seperti itu bukanlah caraku dan juga bukan cara setiap
muslim yang mulia dan bermartabat.”
Disebut
apakah sikap Ali a.s. itu? ini adalah muruwwah, kekesatriaan dan
kejantanan sejati. Muruwwah lebih tinggi nilainya dari pada keberanian.
Maulawi ar-Rumi berkata dalam syairnya ketika memuji Ali as:
Dalam
keberanian
Kau
adalah singa Rabbani
Dalam
Muruwwah
Tak
seorang pun tahu
Siapa
kau sebenarnya
2.5.2 Metode membentuk atau melahirkan Manusia
berkarakter Insan Kamil dalam Perspektif Pendidikan
Metode adalah cara teratur yang digunakan untuk
melaksanakan dan memudahkan suatu pekerjaan agar tercapainnya suatu tujuan. Sedangkan pendidikan adalah proses belajar, oleh karena itu,
pendidikan sangat penting bagi manusia. Pendidikan adalah proses dimana adanya
suatu penanaman nilai-nilai kebaikan
secara bertahap dan menimbulkan perubahan-perubahan kepada manusia
sebagai penerima pengetahuan yang dibawa pendidikan tersebut. Dalam pembahasan
ini peran pendidikan dalam melahirkan dan membentuk manusia agar berkarakter
insan kamil yaitu:
- Pendidikan akan mempermudah manusia untuk
memelajari dan mencari tahu jati dirinya, contohnya dalam pendidikan
Humanianisme, dengan pendidikan ini manusia akan semakin menjujung tinggi
nilai-nilai luhur manusia.
- Pada dasarnya semua manusia memiliki potensi
kreativitas, dan pendidikanlah yang akan mengaktualkan potensi tersebut.
- Karena manusia adalah makhluk sosial, pendidikan juga
harus berorientasi pada keikutsertaan manusia dengan lingkungan sosialnya,
dengan kata lain pendidikan akan memberikan persiapan kepada manusia untuk
dapat berinteraksi dengan masyarakat saat ia terjun ke dalam lingkungan
sosial.
- Pada dasarnya, semua pendidikan bertugas untuk
mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki manusia, agar terbentuk
manusia yang cerdas, berpikir kritis terhadap segala problema hidup,
terampil dalam menghadapi tantangan yang akan datang dan jujur. Semua
bentuk pendidikan bertujuan untuk menjadikan manusia sebagaimana manusia
yang sebenarnya kemudian menjadi manusia sempurna.
Setelah
mengetahui peran pendidikan dalaam menciptakan manusia sempurna (insan kamil), selanjutnya yang harus kita rumuskan adalah
metode pembentukan insan kamil dalam perspektif pendidikan yaitu:
1.
Menanamkan kepercayaan pada diri
bahwa karate atau sifat buruk di dalam diri bisa diubah menjadi karakter atau
sifat baik.
2.
Menanamkan kepada diri keinginan yang kuat untuk berahlak atau mempunyai
karakter baik.
3.
Mulai belajar menjadi baik dengan hal kecil dan selalu istiqomah atau
dilakukan berulang-ulang agar menjadi kebiasaan dan akhirnya menjadi karakter
diri.
4.
Selalu berpikir positif, tidak membuka celah bagi hal-hal yang negative
5.
Jadikan seseorang yang sempurna sebagai panutan atau teladan .
6.
Mengembangkan kemampuan diri, dengan kata lain tidak cepat puas terhadap
satu pengetahuan
7.
Memfungsikan akal dengan baik, yaitu dengan selalu belajar mencari
pengetahuan baru.
Sebuah metode akan berhasil jika pelaku atau orang
yang menjalakan metode-metode tersebut bersunggu-sungguh melakukan dan
melaksanakannya, dan sebaliknya jika orang tersebut tidak bersungguh-sungguh,
maka metode hanyalah akan menjadi wacana saja.
2.5.3 Proses Pembentukan atau Melahirkan Insan Kamil
Perspektif Pendidikan
Proses adalah runtutan peristiwa yang di dalamnya
terdapat perubahan saat melakukan suatu pekerjaan. Dalam hal ini pemakalah akan
menguraikan proses pembentukan manusia sempurna (insan kamil) dalam perspektif
pendidikan Islam, dalam pendidikan Islam proses mejadi insan kamil dibagi
menjadi dua yaitu:
1. Proses Pembentukan Kepribadian yang baik
Seperti yang telah kita ketahui bahwa manusia sempurna
memilki kepribadian yang sempurna dimana terdapatnya nilai-nilai kebajikan
dalam perilakunyan yang lahiriah maupun batiniah. Adapun sifat-sifat yang harus
ada dalam manusia sempurna antara lain, sabar, ikhlas, tidak dengki, dan
sifat-sifat terpuji lainnya. Dan di dalam Islam sendiri, Nabi Muhammad adalah
insan kamil, bukan hanya sebagai manusia sempurna yang berakhlak mulia tetapi
juga sebagai penyempurna akhlak manusia
di bumi, sebagaimana dalam sabdanya,
Nabi Muhammad saw bersabda,
“sesungguhnya aku diutus ke bumi hanyalah untuk menyempurnakan kemuliaan
akhlak”. Tidak hanya itu, Nabi Muhammad adalah teladan yang paling
sempurna, firman Allah swt dalam QS. Al
Ahzab: 21 “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.
2. Proses Pembentukan Kepribadian Muslim
Kepribadian individu akan terlihat dalam perilaku
sehari-harinya dan kepribadian inilah yang menjadi ciri khasnya, sangat penting
bagi orang tersebut mengembang pengetahuannya tentang islam agar dapat
menyempurnakan akhlaknya dengan mengkhususkan lagi kepada akhlak sebagai
seorang muslim. Untuk menjadi manusia sempurna telah dijelaskan dalam pembahasan
kiat-kiat menjadi manusia sempurna (insan kamil) yaitu dengan tiga proses; takhalli,
tahalli, tajalli. Dan jika semua proses tersebut dapat dijalani oleh
seorang hamba, maka terbukalah hijab baginya dengan Tuhannya. Dengan kata lain,
tujuan menjadi manusia sempurna adalah penyatuan jiwa seorang dengan Tuhan yang
menciptakannya.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Manusia adalah
makhluk hidup yang mempunyai akal yaitu sebagai pembeda Antara ia dengan
makhluk lainnya. Manusia sempurna dalam Budaya dan Islam memiliki satu
karateristik yang sama yaitu manusia dapat dikatakan sempurna jika ia telah
memfungsikan akalnya dengan benar yang mana selalu berada di jalan kebenaran.
Manusia sempurna dalam Islam ialah Nabi Muhammad saw, yang memiliki
keunggulan-keunggulan dalam dirinya, dan memilki nilai-nilai islami dalam
setiap perilakunya. Dan kita sebagai manusia mempunyai potensi untuk sempurna
dengan menjalani proses; takhalli, tahalli, tajalli. Dengan semua
metode-metode untuk menjadi manusia sempurna, akan berguna dalam hidup kita
jika kita bersungguh-sungguh dan ikhlas dalam menjalani proses tersebut.
3.2 Saran
Sebagai makhluk
Tuhan yang paling mulia, dengan segala kesempurnaan yang Tuhan berikan kepada
kita sebagai umat manusia yang berakal. Maka sudah menjadi kewajiban manusia
untuk selalu memaksimalkan fungsi akal, untuk mencapai kebahagiaan sejati.
Karena setiap umat manusia di seluruh dunia memiliki nur Tuhan yang
tersimpan, manusia adalah manifestasi Tuhan. Hanya saja nur Tuhan masih
tertutup hijab. Hanya Manusia Sempurna yang telah melauli proses takhalli,
tahalli, dan tajalli saja yang bisa membuka hijab tersebut
lalu bersatu dengan Dia Yang Maha Tunggal dan Maha Segala-galanya.
[4] Murtadha Muthahhari, Manusia Seutuhnya, Jakarta: Sadra Press, 2012, h.
8.
[5] Dr. Seyyed Mohsen Miri, Sang Manusia Sempurna;Antara Filsafat Islam dan
Hindu, Jakarta: 2004, h. 92.
[6] Dr. Seyyed Mohsen Miri, Sang Manusia Sempurna; Antara Filsafat Islam
dan Hindu, Jakarta: 2004, h. 93.
[10] Murtadha Muthahhari, Manusia seutuhnya, Jakarta: Sadra Press, 2012, h.
92.
Daftar
Pustaka
Leahy, Louis. (1984) Manusia; Sebuah
Misteri, Jakarta: Penerbit Gramedia
Fahrudin, Makalah Hakikat dan Tujuan
Hidup Manusia Menurut Al-Ghazali
Mohsen Miri, Seyyed, (2004) Sang Manusia
Sempurna; Antara Filsafat Islam dan Hindu, Jakarta: Teraju
Mawardi, Udi Mufrodi. (2009) Gambaran
Komprehensif Tentang Manusia, Serang: FUD Press
Muthahhari, Murtadha. (2003) Manusia
Sempurna; Pandangan Islam Tentang Hakikat Manusia, Jakarta: Lentera
Muthahhari, Murtadha. (2012) Manusia
Seutuhnya, Jakarta: Sadra Press
Jumantoro, Totok dan Arif, Syamsul.
(2005) Kamus Ilmu Tasawuf, Sumatra Utara: Amzah
Lembaga Penelitian dan Pengembangan
Pendidikan. (2003) Masa Depan Kemanusiaan, Yogyakarta: Jendela
Diambil pada tanggal 28 Juni
2014
http://alrasikh.uii.ac.id/2010/03/26/tiga-pilar-dasar-islam-untuk-menajadi-manusia-sempurna/
http://ridwan202.wordpress.com/2008/10/16/manusia-sebagai-makhluk-budaya/
http://renianindhalutfika.wordpress.com/2013/03/25/review-buku-pengantar-ilmu-antropologi-koentjaraningrat/
http://catping.blogspot.com/2010/06/konsep-manusia-dalam-antropologi.html
http://www.academia.edu/5948301/Filsafat_Manusia_Purna
Tidak ada komentar:
Posting Komentar