21 Okt 2014

Insan Kamil

Sekedar share ^^
Tugas UAS Semester 2 Mata Kuliah Ilmu Budaya


Kata Pengantar

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh
                  Segala puji penulis ucapkan kepada Allah SWT, yang menggenggam nyawa kehidupan sekaligus yang berhak untuk mengambilnya kembali. Shalawat serta salam semoga Allah sampaikan kepada Insan Kamil pilahan Tuhan, serta keluarga terkasih beliau, dan juga sahabat-sahabat setianya.
                  Penulis ingin berterima kasih yang teramat sangat kepada kedua malaikat titipan Tuhan, yaitu Ayah dan Ibu, berkat segala doa dan dukungannyalah makalah ini dapat terselesaikan. Juga kepada teman-teman dan kakak tingkat yang telah banyak membantu menuangkan ide-idenya. Penulis juga ingin memberikan ucapan terima kasih yang sangat spesial kepada dosen pembimbing, yaitu Bapak Ir. Ahmad Jubaeli.
                  Dalam makalah ini penulis merasa masih banyak memiliki kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran yang dapat membangun sangatlah penulis harapkan, agar makalah ini menjadi lebih baik lagi. Penulis berharap makalah ini dapat berguna dan bermanfaat.

Jakarta, 30 Juni 2014

Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Manusia adalah salah satu makhluk yang paling menarik, oleh karena itu tidak mengherankan jika banyak penelitian menggunakan manusia sebagai objek kajiannya. Hal-hal yang dibahas dalam penelitian berkisar kepada pertanyaan, adakah ciri-ciri atau karateristik seseorang bisa disebut manusia, apa yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya,  adakah perbedaan yang mendasar antara manusia satu dengan yang lainnya, dan lain-lain.
            Setelah mengetahui apa hakikat dari manusia, sangatlah penting bagi kita mengkaji kepada tingkatan manusia yang lebih tinggi yaitu manusia sempurna, dengan kata lain bahwa kita sebagai manusia mempertanyakan keberadaan manusia sempurna. Hal yang mendasari mengapa manusia mencari pengetahuan tentang manusia sempurna adalah kebutuhan atau kecendrungan manusia itu sendiri yang menginginkan terhadap kesempurnaan, agar pengetahuan tentang kesempurnaan tersebut dapat direalisasikan ke dalam hidupnya, dan untuk lebih mendekatkan diri kepada yang maha sempurna.
            Seperti yang kita ketahui bahwa terdapat perbedaan pandangan tentang manusia sempurna, dan hal ini timbul karena adanya sudut pandang yang berbeda dan latar belakang pengetahuan yang juga berbeda. Dalam makalah ini penulis berusaha menyajikan beberapa pandangan yang berbeda tentang manusia sempurna; manusia sempurna dalam prespektif Ilmu Budaya, Islam, dan Pendidikan.
1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang di atas, maka rumusan masalah yang Dapat diajukan adalah sebagi berikut:
  1. Apa yang dimaksud dengan manusia?
  2. Seperti apakah manusia sempurna itu?
  3. Bagaimanakah Islam, Budaya, serta Pendidikan membahas
masalah manusia sempurna?
1.3  Tujuan
Adapun beberapa tujuan penulisan makalah ini adalah:
  1. Memahami hakikat manusia.
  2. Memahami makna dari manusia sempurna.
  3. Dapat mengetahui bagaimana Islam, Budaya, serta Pendidikan membahas masalah manusia sempurna.
1.4  Manfaat
Manfaat dibuatnya makalah ini adalah untuk meningkatkan dan Menambah pengetahuan penulis dan pembaca tentang Manusia Sempurna dalam perspektif Ilmu Budaya, Islam, dan Pendidikan.

BAB 2
 PEMBAHASAN
2.1 Budaya
            Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Budaya adalah pikiran, akal budi, adat istiadat yang sudah berkembang menjadi kebiasaan suatu kelompok dan sukar untuk di ubah. Kebudayaan adalah nilai adat istiadat khas suatu golongan sosial dalam masyarakat yang menjadi ciri khas dalam golongan atau kelompok tersebut.
Budaya terbagi menjadi dua yaitu budaya yang bersifat material dan non-material. Budaya yang bersifat material yaitu hasil cipta, karya, karsa, yang memiliki wujud nyata berupa benda. Sedangkan budaya yang bersifat non-material yaitu yang tidak berwujud, seperti suatu tata cara melakukan suatu pekerjaan yang tumbuh dalam suatu masyarakat, kebiasaan-kebiasaan; perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama menjadi ciri khas dari suatu kelompok, kemudian norma-norma, tata kelakuan dan kesusilaan yang tumbuh dan mendarah daging dalam masyarakat dan sukar untuk diubah.
Budaya adalah hasil pikiran manusia, kemudian disepakati oleh suatu kelompok masyarakat dan melekat menjadi satu dengan masyarakat tersebut juga menjadi ciri khas mereka. Budaya dalam suatu kelompok masyarakat mempengaruhi pandangan hidup mereka dalam menjalani hidup, dengan kata lain budaya menjadi tolak ukur mereka untuk melakukan sesuatu dan juga menjadi sudut pandang mereka dalam berpikir.

2.1.1 Manusia dalam Ilmu Budaya
Secara etimologi, kata manusia berasal dari Bahasa yaitu “manu” (Sansekerta) atau “mens” (Latin) yang berarti berpikir atau berakal budi. Sedangkan dalam  ranah lingkungan manusia diartikan sebagai suatu organisme hidup. Lingkungan sangat berperan terhadap pembentukan kepribadian seseorang dan sudut pandang pemikirannya.
Seperti yang telah dikatakan dalam pembahasan definisi Budaya bahwa budaya adalah tidak lain dari hasil dari pemikiran manusia,hasil cipta, karya, karsa manusia. Manusia dialah yang menggunakan akal pikirannya sebelum bertindak. Manusia dalam budaya adalah sebagai pelaku budaya dari budaya itu sendiri. Berkat kodratnyalah manusia bersifat kebudayaan,[1]  dengan kata lain, seluruh hidup manusia tidak akan pernah lepas dari suatu budaya selama manusia tersebut memiliki akal yang sehat untuk berpikir  yang tidak lain bertujuan membuat budaya baru dalam suatu lingkungan maupun dalam mengikutsertakan dirinya dalam suatu budaya yang sudah ada.
Manusia bukanlah hanya seonggok daging yang bernyawa, atau makhluk yang serupa dengan binatang dengan kata lain hanya membatasi dirinya dalam berburu mencari makan untuk memenuhi hasrat perutnya dan mencari tempat untuk berlindung, tetapi manusia juga memiliki keistimewaan tersendiri yang tidak dimilki oleh makhluk lainnya, yang membedakan dirinya dengan makhluk lainnya yaitu akal yang dimiliki manusia untuk berpikir yang mana dengan memfungsikan akal tersebut untuk mengembangkan kualitas hidupnya menjadi lebih baik, dan sebagai makhluk budaya yang tidak dapat melanjutkan spesiesnya tanpa adanya pengembangan masyarakat dan peradaban.
Jika kita melihat manusia secara hakiki adalah makhluk berbudaya, maka adalah sebuah tuntutan atau kewajiban bagi manusia tersebut memiliki dan memfungsikan akal budi, dengan kata lain manusia diharuskan memaksimalkan akal budinya untuk kelangsungan hidupnya.
            Dengan berbudaya, manusia dapat menjadi benar-benar manusiawi, karena budayalah yang mengahantarkan manusia kepada kebenaran eksistensinya sebagai makhluk yang sempurna dengan akal budinya.
2.1.2 Manusia Sempurna dalam Budaya
            Manusia adalah sebagai pelaku budaya, yaitu budaya sebagai objek yang dilakukan manusia. Suatu budaya pasti memiliki paham atau pandangan yang mana paham itulah yang akan mempengaruhi masyarakat dalam bertindak maupun berpikir. Dari sinilah budaya akan membentuk sendiri pengetahuan tentang manusia sempurna menurut paham maupun pandangan mereka. Dengan kata lain manusia sempurna dalam budaya tidak lain ditunjuk oleh suatu kelompok yang berbudaya, dengan konsep-konsep manusia sempurna yang mereka miliki menjadi tolak ukurnya.
Seseorang akan disebut manusia sempurna apabila orang tersebut telah memenuhi kriteria manusia sempurna yang dipahami oleh suatu budaya.  Begitulah manusia sempurna dalam perspektif budaya, contohnya seperti dalam budaya Bali. Di Bali, manusia sempurna disebut manusia suci atau orang suci atau Rsi. Mereka dinobatkan menjadi orang suci atau sempurna yang memiliki pengetahuan dan tingkat spiritulitas lebih dari manusia biasa lainnya  dan karena itulah  mereka dianggap telah memenuhi kriteria manusia suci dalam paham budaya Bali.
2.1.3  Karateristik Manusia Sempurna dalam Budaya
Kateristik atau ciri manusia sempurna dalam budaya juga bergantung kepada pemahaman mereka atau konsep mereka dalam menilai manusia seperti apakah manusia sempurna. Konsep manusia sempurna dalam budaya satu dengan budaya yang lain selalu memiliki perbedaan, yang dikarenakan paham mereka atau latar belakang mereka yang berbeda.
Seperti contoh dalam budaya Bali karena latar belakang mereka adalah agama Hindu, mereka mempunyai karateristik sendiri terhadap manusia sempurna yaitu seperti memiliki mata batin dan dapat memancarkan kewibawaan rohani, mempunyai kekuatan untuk menerima getaran-getaran gaib, terdapat nilai-nilai ajaran Hindu dalam kesehariannya, mempunyai kasih sayang terhadap sesame, meiliki kemurnian ahir batin, tidak terpengaruh oleh gelombang suka duka dan lain-lain.
Karateristik ini tidak semuanya bisa kita letakkan dalam budaya lain, contohnya manusia sempurna harus mengamalkan ajaran-ajaran agama Hindu di dalam kesehariannya, karateristik ini tidak bisa kita letakkan kepada budaya yang memilki paham yang berbeda dengan budaya Bali yang bermuara kepada ajaran Hindu, karena tidak semua budaya mengandung ajaran agama Hindu seperti budaya yang dibangun dalam STFI Sadra yang berlatar belakang Islam. Jadi, paham suatu budaya akan mempengaruhi karateristik manusia sempurna dalam budaya tersebut, dan karateristik manusia sempurna satu budaya tidak sama dengan budaya yang lainnya.
2.2 Islam
            Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesi KBBI Islam adalah agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw, dimana berpedoman kepada kitab suci Al Quran yang diturunkan kedunia melalui wahyu Allah swt dan Al Hadis yaitu sabda, perbuatan, ketetapan Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan oleh sahabat untuk menetapkan atau menentukan hukum dalam masyarakat.


2.2.1 Manusia dalam Islam  
            Saat kita membahas sesuatu dalam ranah agama, kita akan merujuk kepada pedoman atau kitab yang dimiliki oleh agama tersebut. Oleh sebab itu, untuk mengetahui makna hakikat dari manusia dalam perspektif Islam, kita harus merujuk kepada pedoman atau kitab yang dimiliki oleh agama Islam yaitu kitab suci al-Qur’an. Di dalam al-Quran kata manusia disebutkan dalam beberapa istilah, yaitu antara lain al-insaan, an-naas, al-abd, bani adam dan sebagainya. Al-insaan berarti suka, senang, jinak, ramah, atau makhluk yang sering lupa. An-naas berarti manusia (jama’). Al-abd berarti manusia sebagai hamba Allah. Bani adam berarti anak-anak Adam karena berasal dari keturunan nabi Adam As.
Dalam al-Qur’an dan al-Sunnah menyebutkan bahwa manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia serta memiliki berbagai bakat dan potensi, juga mendapatkan petunjuk kebenaran dalam menjalani kehidupan di dunia dan akhirat. Sebagaimana dalam firman Allah: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (at-Tin: 5). Dan di dalam al-Quran juga menyebutkan bahwa manusia sebagai khalifah yang berarti pemimpin, yaitu wujud manusia sebagai pemegang mandat Tuhan di bumi,  sebagaimana dalam firman-Nya “Inni jâ’ilun fi al-ardi khalifah” (sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi, QS. Al-Baqarah: 3).
Al-Ghazali berpendapat bahwa manusia itu terdiri dari dua unsur yang berbeda, yakni tubuh (al-jism) dan jiwa (al-nafs).[2] Tubuh hanyalah berupa badan yang bisa digerakan, karena tubuh bersifat materi, maka tubuh tidak kekal , yang mana ketika ia mati maka selesailah ia. Tubuh tidak dapat sempurna tanpa unsur yang lainnya.
Al-Ghazali mengemukakan beberapa istilah dalam esensi manusia, yaitu al-nafs, al-qalb, al-ruh, dan al-‘aql. Kata-kata tersebut kata-kata yang mempuyai makna yang sama. Jiwa (al-nafs) bersifat immateri, dan jiwa yang dimaksud di sini bukan hanya sekedar pelengkap tubuh ataupun badan  yang mana berfungsi sebagai pendorong untuk mencari kebutuhan makanan, bukan hanya berupa kekuatan yang mendorong syahwat dan emosi, tetapi hakikat jiwa adalah esensi dari manusia itu sendiri.
            Al-Ghazali menyimpulkan bahwa esensi manusia adalah substansi immaterial yang berdiri sendiri, bersifat Ilahi (berasal dari alam al-amr), tidak bertempat dalam badan, bersifat sederhana(bashihat), mempunyai kemampuan mengetahui dan menggerakkan badan, diciptakan (tidak qadim), dan bersifat kekal pada dirinya.[3]


2.2.2 Manusia Sempurna (Insan Kamil) dalam Islam
Menurut Murtadha Muthahhari ilmuwan Islam dalam bukunya yang berjudul “Manusia Seutuhnya”, Insan kamil adalah manusia teladan atau manusia ideal. Islam sendiri memiliki pandangan bahwa wajib hukumnya mengenal insan kamil atau manusia ideal, manusia yang dijadikan standar, pedoman, dan teladan yang akan dijadikan panutan bagi setiap muslim di dunia.
Manusia sempurna (insan kamil) di ukur dari Al Quran yaitu manusia yang memenuhi ciri-ciri individu Islam, yang mengamalkan ajaran Islam dalam hidupnya.  Perlu bagi kita sebagai seorang muslim mengenal lebih dekat siapa manusia sempurna, yaitu dengan melihat kepada kepribadiannya sehari-hari, dan tingkah lakunya, dan mencari tahu apa yang membedakan manusia sempurna tersebut dengan manusia lainnya.
sampai pada abad ketujuh Hijriah, belum pernah terdengar istilah insan kamil dalam literatur-literatur Islam. Orang pertama yang mencetuskan istilah ini ialah seorang arif tersohor bernama Muhyiddin Al-Arabi Al-Andalusi Ath-Tha’i, sekarang istilah ini pun banyak dipakai di Eropa. Beliau adalah bapak ‘irfân Islam.[4]



2.2.3 Karateristik Manusia Sempurna (Insan Kamil) dalam Islam
            Karateristik manusia sempurna dalam Islam manusia yang memiliki intelek tinggi melebihi manusia biasa. Adapun karateristik manusia Antara lain
            Yang pertama adalah pendapat Murtdha Muthahari di dalam bukunya “Manusia Seutuhnya”  Terdapat dua cara untuk mengenal insan kamil menurut pandangan Islam:
            Pertama, dengan melihat sebagaimana yang telah digambarkan dalam al-Qur’an dan al-Hadits tentang manusia sempurna tersebut (walaupun sebenarnya al-Qur’an dan al-Hadits sendiri tidak menyebutnya dengan istilah insan kamil tetapi menyebutnya dengan istilah ta’bir muslim kamil dan mukmin kamil), dengan kata lain bahwa wajib bagi kita sebagai muslim yang mempercayai kitab suci Al Quran sebagai pedoman, hendaknya merujuk kepada Al Quran, seperti apakah manusia sempurna itu.
            Kedua, yaitu dengan mengenal secara langsung individu-individu yang diyakini sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an dan al-Hadits. Yang dimaksudkan mengenal bukan hanya dengan mengetahui identitas mereka, melainkan dengan mengenal keribadian dan tingkah laku mereka, sebagaimana kita mengenalnya dan sebagaiman kita mengamalkan apa yang diajarkannya dan dengan menjadikan mereka sebagai panutan hidup.
            Meyakini mereka bahwa sifat dan karakter mereka bukanlah sekedar hayalan imajinasi, bukan sekedar omong kosong belaka atau dongeng semata, melainkan insan kamil yang nyata wujudnya, yang mana berawal dari tingkat  yang paling rendah, tinggi, hingga ke tingkatan yang paling tinggi.
            Selanjutnya adalah karakteristik insan kamil dalam islam menurut Dr. Seyyed Mohsen Miri dalam bukunya yang berjudul Sang Manusia Sempurna:
            Pertama, Manusia Sempurna merupakan makhluk mistik, memiliki kekuasaan untuk membuat sesuatu di dunia eksternal, hanya dengan memikirkan apa yang diinginkan maka akan terwujud dengan mengatakan kun (jadilah) maka terjadilah. Yang dimaksudkan adalah manusia yang mencapai pada posisi stasiun ada “maqam kun” dengan kata lain bahwa apa yang dia inginkan akan terwujud hanya dengan mengatak kata kun (jadilah)dan fayakun (maka terjadilah).
            Manusia Sempurna adalah manusia yang memiliki kebersihan batin, pencerahan jiwa melaui cahaya ketaatan , persahabatan, dan cinta Ilahi; mencapai kefanaan dengan Hakikat;  dan menerima keabadian melalui keabadian-Nya—juga telah mencapai suatu posisi sebagaimana pikiran menimbulkan konsep objektif dan Tuhan dalam menciptakan eksistensi eksetrnal untuk mengaktualisasikan sesuatu pada eksternal hanya melalui kehendak-Nya.[5]
            Manusia Sempurna ialah yang telah melakukan perintah-Nya hingga mencapai seluruh level eksistensi, ia akan memperoleh keistimewaan dari Sang Pencipta. Seluruh ibadahnya akan dianggap berada di seluruh alam, bahkan di letakan di kerajaan hati-batinnya para malaikat, dan akan mendapatkan pelayaan dari seluruh eksistensi yang ada.
            Kedua, ketika Tuhan mentransformasikan aspek batin dan jiwa Manusia Sempurna melalui manifestasi-Nya, maka ia akan dibangkitkan kembali di dunia ini sebelum memasuki dunia akhirat.[6] Setelah itu ia akan dibangkitkan dari kuburan yang fisiknya bermateri dan secara sukarela akan meninggalkan duniawinya untuk hidup di dunia yang telah disiapkan Tuhan untuknya dan meninggalkan jasadnya di dunia ini. Atas ijin Tuhan, di dunia barunya Manusia Sempurna diberikan kemampuan untuk dapat melihat sesuatu yang tersingkap, sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh manusia biasa yang bermateri, berjasad, dan yang memiliki hasrat keinginan. Ia juga dapat mencari seperti apa akhirat tanpa harus mati terlebih dahulu seperti manusia biasa.
            Ketiga, Manusia Sempurna yang telah mengetahui hakikat kebenaran akan manifestasi Tuhan, dengan pertimbangan dan keyakinan yang kuat ia akan menolak adanya kesempurnaan lain selain Allah swt. Oleh sebab itu, ia akan dengan mudah pulang menuju esensi-Nya tanpa adanya halang rintang yang menghadang. Berbeda dengan  manusia biasa. Manusia biasa hanya akan menuju Tuhan melalui  sifat-sifat dan nama-nama Tuhan yang tertentu saja, sedangkan sifat-sifat dan nama-nama yang lain terhijab, tertutup dan tidak dapat dilihat oleh mereka manusia biasa.
            Keempat, Manusia Sempurna yang telah mencapai pada Hakikat dan fana pada-Nya akan mendapatkan kehidupan dari eksistensi-Nya yang kekal, bukan hanya sekedar objek yang dapat berubah. Ia yang telah mencapai pada dunia Tuhannya akan merasakan sensasi yang berbeda dan luar biasa hebatnya, sehingga membuatnya ingin selalu bersama-Nya dan tidak mengingkan yang lain selain-Nya. Apa yang telah ia rasakan adalah perasaan yang khusus Tuhan berikan padanya.
            Kelima, Tuhan telah memberikan keyakinan yang sebenarnya kepada Manusia Sempurna dan telah mencabut segala bentuk kemusyrikan, sehingga yang ia yakini hanyalah kekuasaan Tuhan semata.
            Keenam, seorang manusia yang telah mencapai kedudukan Manusia Sempurna akan memiliki nur Ilahi dan manifestasi dari esensi, sifat-sifat, dan nama-nama Tuhan tersebut dalam semua level, ketika ia mencapai pada level tertinggi maka semua yang ada pada dirinya menjadi sempurna. Ia pun mendapatkan kepercayaan dan mengemban tugas dari Tuhan. Manusia Sempurna selalu amanah dalam menjalankan perintah Tuhannya, dan ia akan mengenakan pakaian kepercayaan itu selamanya sampai akhirnya ia dimuliakan dengan pakaian kepercayaan yang baru.
            Ketujuh, seorangan manusia sempurna telah memutuskan hubungan duniawinya, ia telah menghilangkan cintanya terhadap dunia materi ini. Jiwa dan hatinya hanya akan dipenuhi oleh rahmat Tuhan dan  cintanya kepada Tuhan melebihi yang dimiliki eksistensi yang lain. Karena cinta kepada Tuhan adalah level cinta tertinggi, dan Manusia Sempurna dapat mencapai level tertinggi tersebut.
            Setelah penjabaran dua pendapat dari dua ilmuwan Ilsam di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ciri-ciri atau karateristik insan kamil dalam Islam adalah ia memiliki keimanan yang utuh dan menyeluruh kepada Allah swt, seluruh amal yang ia perbuat semata-mata hanya untuk Allah swt dan tidak lalai dalam kewajiban dunia, berakhlak mulia, amanah, dan mencerminkan sifat-sifat Allah secara menyeluruh.


2.3 Titik Temu Islam dan Budaya Mengenai Manusia Sempurna (Insan Kamil)
            Manusia sempurna dalam budaya yaitu manusia yang memenuhi kriteria manusia sempurna menurut paham dan pandangan suatu budaya. Seperti yang dikatakan bahwa karateristik manusia sempurna dalam suatu budaya berbeda dengan karateristik budaya lainnya, dengan kata lain bahwa ciri suatu budaya tentang manusia sempurna bergantung kepadaa pemahaman mereka tentang manusia sempurna. Sedangkan didalam Islam, manusia sempurna (insan kamil) adalah manusia ideal yang mengamalkan ajaran Islam, yang mencerminkan sifat-sifat Allah swt secar menyeluruh dan berakhlak baik pantas menjadi pedoman dan panutan bagi manusia lainnya khususnya muslim lainnya.
Tetapi walaupun terdapat banyak perbedaan,  jika dilihat  secara umum juga terdapat kesamaan konsep manusia sempurna di semua budaya dengan konsep manusia sempurna dalam Islam, yaitu manusia yang memiliki nilai-nilai kebaikan dalam semua perilakunya, memiliki kecerdasan melebihi manusia lainnya, memilki keseimbangan jiwa, dapat mengontrol diri dari nafsu dan akhirnya, titik temu konsep manusia sempurna dalam budaya dan Islam yaitu manusia yang dapat memfungsikan akalnya dengan baik melebihi manusia lainnya.    


2.4 Nilai Keunggulan Konsepsi “insan Kamil” Islam dan “Manusia Sempurna” Budaya
Keunggulan Insan Kamil dalam Islam:
·  Seorang hamba yang telah menjadi insan kamil bisa menghasilkan apapun yang mereka inginkan, tanpa memrlukan adanya persiapan, kondisi, dan waktu.
·  Dapat melihat sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh manusia biasa, juga dapat mencari bentuk akhirat tanpa harus menunggu kefanaan dan kematian terlebih dahulu.
·  Insan kamil berpulang menuju esensi Tuhan tanpa ada halang rintangan. Berbeda dengan eksistensi yang lain, mereka harus melalui proses terlebih dahulu untuk kembali kepada Tuhan.
·  Seorang hamba yang telah mencapai insan kamil akan merasakan kebahagiaan yang tidak bisa dilukiskan kata-kata.
·  Menyatunya hamba dengan Tuhannya.
·  Mengemban tugas dengan mendapatkan kepercayaan dari Tuhannya.
·  Dapat mencapai level tertinggi dalam mencintai Tuhannya,
Keunggulan Manusia Sempurna dalam Budaya:
·  Lebih dapat diterima oleh masyarakat, khususnya kelompok atheis yang tidak mempercayai Tuhan, yang menolak konsep ketuhanan. Karena, dalam budaya manusia sempurna dipilih oleh masyarakat dalam suatu budaya. Tidak seperti konsep Manusia Sempurna dalam Islam yang ada campur tangan Tuhan.
2.5 Kiat-Kiat Menjadi Insan Kamil
Ada beberapa kiat-kiat yang harus dilalui untuk menjadi insan kamil, yaitu:
1.    Takhalli
Takhalli secara etimologi berasal dari kata khalla yang berarti mengosongkan, menghentikan, lepas atau bebas. Jadi takhalli bermakna pengosongan (tafarrugh), penghentian, pencegahan, pelepasan (tabarru’), atau pembebasan.[7] Pada tahap awal ini manusia harus melalui proses takhalli terlebih dahulu. Takhalli ialah tahap awal dalam membina jiwa untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
2.    Tahalli
Amatullah Amstrong memaknai tahalli sebagai berikut[8]: “Berhias dengan sifat-sifat Tuhan. Namun perhiasan paling sempurna dan paling murni bagi hamba adalah berhias dengan sifat-sifat penghambaan. Penghambaan (‘ubudah) adalah pengabdian penuh dan sempurna yang sama sekali tidak menampakkan tanda-tanda keutuhan (rububiyyah). Dengan kata lain, hamba menjadi Ia syay (bukan apa-apa).” Setelah melaui proses pembinaan dan pengosongan hati, maka tahap selanjutnya adalah menghiasi atau mengisi hati dengan melakukan hal-hal positif. Beribadah penuh kepada Tuhan dan melakukan kebiasaan-kebiasaan baik.
3.    Tajalli
Setelah seseorang telah berhasil melalui proses takhalli dan tahalli, maka Tuhan akan menampakkan wujud-Nya Yang Maha Tunggal kepada hambanya. Tujuan utama seseorang ialah menyatu dengan Tuhannya Yang Tunggal,dan Tuhan telah membuka hijabnya. Dalam aliran sufistik, proses tersingkapnya tirai dan penerimaan nur ghaib dalam hati seorang meditator (orang yang melakukan meditasi) disebut Al-Hal, yaitu proses penghayatan ghaib yang merupakan anugrah Tuhan dan diluar adikuasa manusia[9].
Setelah melalui ketiga proses tersebut maka seseorang hamba akan merasakan tenggelam dalam cahaya-Nya. Nur yang selama ini tersembunyi dalam dirinya telah menampakkan wujudnya. Seorang hamba tidak akan pernah mengalami tajalli  yang sama dengan hamba yang lain, karena kualitas usaha yang dilakukan setiap hamba berbeda-beda. Tajalli tidak akan mampu diungkapkan dengan kata-kata, karena tidak ada seorang pun yang mampu mengungkapkan keindahan Dia Yang Maha Sempurna.


2.5.1 Prototipe Insan Kamil dalam Kehidupan Rasulullah dan Generasi Penerusnya
            Seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan manusia sempurna dalam Islam, bahwa manusia sempurna (Insan kamil) adalah orang yang memiliki seluruh manifestasi nama-nama dan sifat-sifat Tuhan dengan level tertinggi, ia juga yang menjadi panutan dan teladan bagi umatnya. Umat Islam di seluruh dunia sepakat bahwa Nabi Muhammad SAW adalah manusia yang telah mencapai derajat tertinggi kesempurnaan sebagai utusan Tuhan. Segala perilakunya menjadi panutan, tutur kata dan budinya menjadi tauladan. Tidak menutup kemungkinan bahwa setiap orang memiliki kesempatan untuk menjadi insan kamil, namun hanya satu orang yang sampai pada tingkatan tertinggi dalam derajat insan kamil, yaitu Nabi Muhammad SAW.
            Nabi Muhammad adalah Manusia Sempurna yang multidimensi. Dalam hal spiritual tidak akan ada yang se-sempurna Muhammad, selain itu juga dalam kehidupan sosial beliau sangat peduli terhadap kondisi masyarakatnya, beliau rela mengorbankan diri, hartanya, bahkan keluarganya untuk kepentingan sosial.
            Selain Nabi Muhammad SAW, masih ada Ali bin Abi Thalib yang juga dijadikan panutan dan teladan umat Islam. Pada saat Ali a.s. telah selesai dari urusan masyarakat, akan kita lihat hanya ada dia dan Tuhannya, dia dan khalawatnya, dia dan munajat isqiyyah-nya dan dia dengan ibadah khusyu’nya.[10]
            Bukan hanya dekat dengan Tuhannya, Imam Ali a.s. juga sangat dekat dengan umatnya. Kedermawanannya telah tersohor, ia adalah orang miskin yang sangat dermawan. Ia juga tidak pernah melewatkan satu hari tanpa bersedekah. Beliau juga sangat bijaksana dalam mengambil keputusan, tidak pernah salah dalam bertindak.
            Pada bukunya Murtadha Muthahhari yang berjudul Manusia Seutuhnya pada halaman 90, ia menceritakan tentang kebaikan yang terpancarkan dalam diri Ali a.s. Pada saat Pasukan Imam Ali a.s. dan pasukan Muawiyah sudah saling berdekatan dengan di suatu tempat di sekitar sungai Furat. Muawiyah memerintahkan pasukannya untuk lebih dulu menduduki daerah sepanjang tepi sungai, sehingga dapat mencegah Ali a.s. dan pasukannya mencapai air. Pasukan Muawiyah  demikian gembira setelah berhasil menguasai sungai. Mereka yakin dengan menguasai air, mereka akan mampu memaksa pasukan Ali a.s. menyerah karena kehausan.
            Ali a.s. berkata kepada pasukannya:
            “Sebaiknya kita selesaikan masalah ini secara damai untuk menghindari terjadinya peperangan dan pertumpahan darah. Lilitan benang yang masih dapat diurai dengan tangan tidak perlu diurai dengan gigi.”
            Kemudian beliau memperingatkan Muawiyah:
            “Kami belum lagi sampai, tetapi engkau sudah mengambil tindakan yang demikian tidak terpuji!”
            Demi mendengar peringatan itu, Muawiyah segera membentuk dewan strategi perang dan membahas masalah tersebut dengan para panglima dan komandan perangnya. Ia berkata: “Apa pendapat kalian? Kita beri jalan kepada mereka atau tidak?” sebagian mengatakan, sebaiknya mereka diberi jalan, sedang sebagian yang lain menolak. Amr bin Ash berkata: “Bukalah jalan untuk mereka! Kalau tidak , mereka akan segera datang menyerbumu dan sekaligus mempermalukanmu.” Namun pada akhirnya mereka memutuskan untuk tidak memberikan jalan dan memaksa perang pada Ali a.s.
            Di sinilah Ali a.s. meneriakkan sebuah orasi heroik di hadapan bala tentaranya, yang pengaruhnya lebih besar dari seribu genderang dan terompet disertai dengan seribu mars. Ali a.s. bersabda:
            “Muawiyah telah mengumpulkan orang-orang sesat untuk mencegah air dari jangkauan kalian. Tahukah kalian apa yang mereka lakukan? Mereka telah menuutup jalan kalian air. Wahai sahabat-sahabatku! Hauskah kalian? Adakah kalian menginginkan air? Tahukah kalian apa yang harus dilakukan? Segarkan pedang-pedang kalian dengan darah-darah najis mereka, setelah itu segarkan diri kalian dengan air sungai Furat”.
            Kemudian, beliau menyampaikan sebuah kalimat mengguncangkan jiwa setiap yang mendengar:
            “Ayyuhannas! Tahukah kalian apakah kehidupan itu? apakah maut itu? apakah kehidupan itu adalah berjalan di atas bumi, makan minum dan tidur? Apakah maut itu adalah tidur di bawah tanah? Tidak. Hidup dan maut bukanlah demikian. Kehidupan adalah kalian mati tetapi menang (terbebas dari kekangan), sedang kematian adalah kalian hidup tapi tertindas.”
            Kalimat ini begitu membakar semangat juang bala tentara Imam Ali as, sehingga hanya kekuatan maha dahsyat yang sanggup menghadang mereka.
            Maka, hanya dengan satu atau dua serangan, tentara Ali a.s. berhasil mengusir pasukan Muawiyah dari sekitar Furat dan menjauhkan mereka bermil-mil dari sungai itu. pasukan Ali a.s. telah berhasil menguasai Furat sedang pasukan Muawiyah terusir jauh tanpa air. Muawiyah mengirim seorang untuk memohon air dari pasukan Ali a.s. Sahabat-sahabat Ali a.s. berkata: “Mustahil kami akan memberi air kepada orang yang telah mencegah kita dari air.” Namun, Ali a.s. menyela dan berkata: “Aku tidak akan membalas kejelekan dengan kejelekan. Aku tidak akan membalas kelicikan dengan kelicikan. Aku berhadapan dengan musuh di medan perang, tetapi aku sama sekali tidak mau meraih kemenangan dengan jalan seperti itu. Meraih kemenangan dengan jalan seperti itu bukanlah caraku dan juga bukan cara setiap muslim yang mulia dan bermartabat.”
            Disebut apakah sikap Ali a.s. itu? ini adalah muruwwah, kekesatriaan dan kejantanan sejati. Muruwwah lebih tinggi nilainya dari pada keberanian. Maulawi ar-Rumi berkata dalam syairnya ketika memuji Ali as:
            Dalam keberanian
            Kau adalah singa Rabbani
            Dalam Muruwwah
            Tak seorang pun tahu
            Siapa kau sebenarnya

2.5.2 Metode membentuk atau melahirkan Manusia berkarakter Insan Kamil dalam Perspektif Pendidikan
            Metode adalah cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan dan memudahkan suatu pekerjaan agar tercapainnya suatu  tujuan. Sedangkan pendidikan  adalah proses belajar, oleh karena itu, pendidikan sangat penting bagi manusia. Pendidikan adalah proses dimana adanya suatu penanaman nilai-nilai kebaikan  secara bertahap dan menimbulkan perubahan-perubahan kepada manusia sebagai penerima pengetahuan yang dibawa pendidikan tersebut. Dalam pembahasan ini peran pendidikan dalam melahirkan dan membentuk manusia agar berkarakter insan kamil   yaitu:
  1. Pendidikan akan mempermudah manusia untuk memelajari dan mencari tahu jati dirinya, contohnya dalam pendidikan Humanianisme, dengan pendidikan ini manusia akan semakin menjujung tinggi nilai-nilai luhur manusia.
  2. Pada dasarnya semua manusia memiliki potensi kreativitas, dan pendidikanlah yang akan mengaktualkan potensi tersebut.
  3. Karena manusia adalah makhluk sosial, pendidikan juga harus berorientasi pada keikutsertaan manusia dengan lingkungan sosialnya, dengan kata lain pendidikan akan memberikan persiapan kepada manusia untuk dapat berinteraksi dengan masyarakat saat ia terjun ke dalam lingkungan sosial.
  4. Pada dasarnya, semua pendidikan bertugas untuk mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki manusia, agar terbentuk manusia yang cerdas, berpikir kritis terhadap segala problema hidup, terampil dalam menghadapi tantangan yang akan datang dan jujur. Semua bentuk pendidikan bertujuan untuk menjadikan manusia sebagaimana manusia yang sebenarnya kemudian menjadi manusia sempurna.
Setelah mengetahui peran pendidikan dalaam menciptakan manusia sempurna (insan kamil),  selanjutnya yang harus kita rumuskan adalah metode pembentukan insan kamil dalam perspektif pendidikan yaitu:
1.              Menanamkan  kepercayaan pada diri bahwa karate atau sifat buruk di dalam diri bisa diubah menjadi karakter atau sifat baik.
2.              Menanamkan kepada diri keinginan yang kuat untuk berahlak atau mempunyai karakter baik.
3.              Mulai belajar menjadi baik dengan hal kecil dan selalu istiqomah atau dilakukan berulang-ulang agar menjadi kebiasaan dan akhirnya menjadi karakter diri.
4.              Selalu berpikir positif, tidak membuka celah  bagi hal-hal yang negative
5.              Jadikan seseorang yang sempurna sebagai panutan atau teladan .
6.              Mengembangkan kemampuan diri, dengan kata lain tidak cepat puas terhadap satu pengetahuan
7.              Memfungsikan akal dengan baik, yaitu dengan selalu belajar mencari pengetahuan baru.
Sebuah metode akan berhasil jika pelaku atau orang yang menjalakan metode-metode tersebut bersunggu-sungguh melakukan dan melaksanakannya, dan sebaliknya jika orang tersebut tidak bersungguh-sungguh, maka metode hanyalah akan menjadi wacana saja.
2.5.3 Proses Pembentukan atau Melahirkan Insan Kamil Perspektif  Pendidikan
Proses adalah runtutan peristiwa yang di dalamnya terdapat perubahan saat melakukan suatu pekerjaan. Dalam hal ini pemakalah akan menguraikan proses pembentukan manusia sempurna (insan kamil) dalam perspektif pendidikan Islam, dalam pendidikan Islam proses mejadi insan kamil dibagi menjadi dua yaitu:
1. Proses Pembentukan Kepribadian yang baik
Seperti yang telah kita ketahui bahwa manusia sempurna memilki kepribadian yang sempurna dimana terdapatnya nilai-nilai kebajikan dalam perilakunyan yang lahiriah maupun batiniah. Adapun sifat-sifat yang harus ada dalam manusia sempurna antara lain, sabar, ikhlas, tidak dengki, dan sifat-sifat terpuji lainnya. Dan di dalam Islam sendiri, Nabi Muhammad adalah insan kamil, bukan hanya sebagai manusia sempurna yang berakhlak mulia tetapi juga sebagai penyempurna  akhlak manusia di bumi, sebagaimana dalam  sabdanya, Nabi Muhammad saw  bersabda, “sesungguhnya aku diutus ke bumi hanyalah untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak”. Tidak hanya itu, Nabi Muhammad adalah teladan yang paling sempurna,  firman Allah swt dalam QS. Al Ahzab: 21 “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.
2. Proses Pembentukan Kepribadian Muslim
Kepribadian individu akan terlihat dalam perilaku sehari-harinya dan kepribadian inilah yang menjadi ciri khasnya, sangat penting bagi orang tersebut mengembang pengetahuannya tentang islam agar dapat menyempurnakan akhlaknya dengan mengkhususkan lagi kepada akhlak sebagai seorang muslim. Untuk menjadi manusia sempurna telah dijelaskan dalam pembahasan kiat-kiat menjadi manusia sempurna (insan kamil) yaitu dengan tiga proses; takhalli, tahalli, tajalli. Dan jika semua proses tersebut dapat dijalani oleh seorang hamba, maka terbukalah hijab baginya dengan Tuhannya. Dengan kata lain, tujuan menjadi manusia sempurna adalah penyatuan jiwa seorang dengan Tuhan yang menciptakannya. 





BAB 3
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Manusia adalah makhluk hidup yang mempunyai akal yaitu sebagai pembeda Antara ia dengan makhluk lainnya. Manusia sempurna dalam Budaya dan Islam memiliki satu karateristik yang sama yaitu manusia dapat dikatakan sempurna jika ia telah memfungsikan akalnya dengan benar yang mana selalu berada di jalan kebenaran. Manusia sempurna dalam Islam ialah Nabi Muhammad saw, yang memiliki keunggulan-keunggulan dalam dirinya, dan memilki nilai-nilai islami dalam setiap perilakunya. Dan kita sebagai manusia mempunyai potensi untuk sempurna dengan menjalani proses; takhalli, tahalli, tajalli. Dengan semua metode-metode untuk menjadi manusia sempurna, akan berguna dalam hidup kita jika kita bersungguh-sungguh dan ikhlas dalam menjalani proses tersebut.
3.2  Saran
Sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia, dengan segala kesempurnaan yang Tuhan berikan kepada kita sebagai umat manusia yang berakal. Maka sudah menjadi kewajiban manusia untuk selalu memaksimalkan fungsi akal, untuk mencapai kebahagiaan sejati. Karena setiap umat manusia di seluruh dunia memiliki nur Tuhan yang tersimpan, manusia adalah manifestasi Tuhan. Hanya saja nur Tuhan masih tertutup hijab. Hanya Manusia Sempurna yang telah melauli proses takhalli, tahalli, dan tajalli saja yang bisa membuka hijab tersebut lalu bersatu dengan Dia Yang Maha Tunggal dan Maha Segala-galanya.






[1] Louis Leahy, Manusia; Sebuah Misteri, Jakarta, 1984, h. 207.
[2] Fahrudin,Makalah  Hakikat dan Tujuan Hidup Manusia Menurut al-Ghazali, h. 2.
[3]Muhammad Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Ghazali, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, h. 88.
[4] Murtadha Muthahhari, Manusia Seutuhnya, Jakarta: Sadra Press, 2012, h. 8.
[5] Dr. Seyyed Mohsen Miri, Sang Manusia Sempurna;Antara Filsafat Islam dan Hindu, Jakarta: 2004, h. 92.
[6] Dr. Seyyed Mohsen Miri, Sang Manusia Sempurna; Antara Filsafat Islam dan Hindu, Jakarta: 2004, h. 93.
[7] Jumantoro,Totok dan Syamsul Arif. Kamus Ilmu Tasawuf. 2005. Amzah:Sumatera Utara Hal 1227
[8] Jumantoro,Totok dan Syamsul Arif. Kamus Ilmu Tasawuf. 2005. Amzah:Sumatera Utara Hal 1222
[9] Opcit Hal 229
[10] Murtadha Muthahhari, Manusia seutuhnya, Jakarta: Sadra Press, 2012, h. 92.

Daftar Pustaka
Leahy, Louis. (1984) Manusia; Sebuah Misteri, Jakarta: Penerbit Gramedia
Fahrudin, Makalah Hakikat dan Tujuan Hidup Manusia Menurut Al-Ghazali
Mohsen Miri, Seyyed, (2004) Sang Manusia Sempurna; Antara Filsafat Islam dan Hindu, Jakarta: Teraju
Mawardi, Udi Mufrodi. (2009) Gambaran Komprehensif Tentang Manusia, Serang: FUD Press
Muthahhari, Murtadha. (2003) Manusia Sempurna; Pandangan Islam Tentang Hakikat Manusia, Jakarta: Lentera
Muthahhari, Murtadha. (2012) Manusia Seutuhnya, Jakarta: Sadra Press
Jumantoro, Totok dan Arif, Syamsul. (2005) Kamus Ilmu Tasawuf, Sumatra Utara: Amzah
Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pendidikan. (2003) Masa Depan Kemanusiaan, Yogyakarta: Jendela

Diambil pada tanggal 28 Juni 2014
http://alrasikh.uii.ac.id/2010/03/26/tiga-pilar-dasar-islam-untuk-menajadi-manusia-sempurna/
http://ridwan202.wordpress.com/2008/10/16/manusia-sebagai-makhluk-budaya/
http://renianindhalutfika.wordpress.com/2013/03/25/review-buku-pengantar-ilmu-antropologi-koentjaraningrat/
http://catping.blogspot.com/2010/06/konsep-manusia-dalam-antropologi.html
http://www.academia.edu/5948301/Filsafat_Manusia_Purna

Tidak ada komentar:

Posting Komentar