Barangkali manifestasi peribadatan, ketundukan, dan
penghinaan diri makhluk kepada Penciptanya adalah sujud. Dengan sujud, seorang
Mukmin meneguhkan peribadatannya kepada Allah swt. Dari sini diketahui bahwa
Pencipta Yang Maha Agung menetapkan bagi hamba-Nya penghinaan diri dan ketaatan
ini. Maka Dia melimpahkan luthf dan kebaikan-Nya kepada orang yang bersujud.
Oleh karena itu, di dalam beberapa hadis diriwayatkan, “Keadaan paling dekat
antara hamba kepada Allah adalah ketika sujud."
Di antara praktik-praktik ibadah,
salat merupakan mikraj yang dengannya dibedakan antara orang Mukmin dan orang
kafir, dan sujud merupakan salah satu rukunnya. Tidak ada manifestasi
penghinaan diri
kepada Allah yang lebih jelas daripada sujud di atas tanah,
pasir, kerikil, dan batu. Sebab, penghinaan diri dengan cara itu lebih jelas
dan lebih nyata daripada sujud di atas tikar, apalagi sujud di atas pakaian
yang bagus, permadani yang empuk, emas, dan perak. Walaupun semua itu merupakan
sujud, tetapi peribadatan hanya terwujud pada bagian pertama di atas, tidak
terwujud pada bagian kedua.
Mazhab Syi'ah Imamiyah
mengharuskan sujud di atas tanah baik di rumah maupun sedang dalam peIjalanan.
Tidak ada yang dapat menggantikan tanah kecuali segala yang tumbuh darinya
seperti tikar (yang terbuat dari daun kurma atau bambu), dengan syarat tidak
untuk dimakan dan tidak digunakan sebagai pakaian. Mereka tidak memandang sahih
bersujud di atas selain dari itu berdasarkan sunah mutawatir dari Nabi saw,
ahlulbaitnya, dan para sahabatnya. Akan tampak dalam pembahasan ini bahwa
keharusan bersujud di atas tanah atau sesuatu yang tumbuh darinya merupakan
sunah yang dipraktikkan di kalangan sahabat. Sedangkan menggantinya dengan
sesuatu yang lain hanya diada-adakan pada masa-masa terakhir ini. Untuk
menjelaskan hal ini, berikut ini kami ketengahkan beberapa pembahasan sebagai
pendahuluan.
1. Perbedaan pendapat para fukaha
tentang syarat-syarat benda yang layak Digunakan Untuk Tumpuan Sujud.
Kaum Muslim telah sepakat tentang
wajibnya bersujud dalam salat, dua kali pada setiap rakaat. Mereka juga tidak
berselisih pendapat tentang kepada siapa sujud itu ditujukan. Yaitu, kepada
Allah swt yang kepada-Nya bersujud semua yang ada di langit dan bumi baik
dengan suka rela maupun secara terpaksa. (Sebagai isyarat terhadap firman Allah
swt: Hanya kepada Allah bersujud segala apa yang ada di langil dan di bumi,
baik dengan sukarela maupun kamw terpaksa, (dan sujud pula) bayang-bayangnya di
waklu pagi dan pelang hari (QS ar-Ra.d [13]: 15).
Syiar setiap Muslim adalah firman Allah swt,
Jangan bersujud kepada matahari dan jangan pula kepada bulan, tetapi
bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya. " (QS. Fushshilat [41]: 37)
Mereka hanya berselisih pendapat
dalam menetapkan syarat- syarat bagi layaknya benda-benda yang menjadi tumpuan
sujud, yakni tempat orang bersujud menempelkan dahinya. Mazhab Syi.ah Imamiyah
mensyaratkan tumpuan sujud itu berupa tanah atau benda-benda yang tumbuh
darinya yang tidak biasa dimakan dan digunakan untuk pakaian-seperti tikar
(yang terbuat dari daun kurma atau bambu) dan sebagainya. Sedangkan mazhab-
mazhab lain menentangnya. Berikut ini kami kutipkan untuk Anda
pendapat-pendapat mereka. Syekh ath-Thusi (Seorang ulama Syi.ah abad ke-5 H.,
penulis kitab al-Tashanifwa al-Mu'allafat yang lahir pada tatiun 460 H, murid
Syekh a1-Mufid (336-413 H) dan Sayid asy-Syadrifal-Murtadha (355-436 H)), yang
menjelaskan pendapat-pendapat para fukaha-mengatakan, “Tidak boleh bersujud
kecuali pada tanah atau yang tumbuh darinya yang tidak biasa dimakan dan
dijadikan pakaian tidak boleh pada kapas atau jerami, misalnya dan boleh
memilih di antara benda-benda tersebut”
Serriua fukaha menentang
pendapatnya dalarn hal itu. Mereka membolehkan bersujud di atas kapas, jerami,
gandum, wol, dan sebagainya. Mereka mengatakan, ‘Tidak boleh bersujud di atas
sesuatu yang biasa dipakai, seperti serban, ujung jubah, dan lengan baju”
Seperti itu pula pendapat
asy-Syafi’i. Pendapat mereka didasarkan pada riwayat dari ‘Ali as, Ibn ‘Umar,
‘Ubadah bin ash-Shamit, Malik, dan Ahmad bin Hanbal.
Abu Hanifah dan
sahabat-sahabatnya mengatakan, “Apabila bersujud di atas benda yang biasa
dipakai, seperti baju yang dikenakannya, hal itu sudah memadai”
Jika bersujud di atas sesuatu
yang terpisah dari dirinya, seperti membentangkan tangan lalu bersujud di
atasnya, hal itu pun sudah memadai tetapi makruh. Pendapat ini diriwayatkan
dari al-Hasan al-Bashri.(Al-Khiltif, kitab ash-shalat, hal. 357-358, masalah
no.112-113.)
Allamah ai-Hilli4--sambil menjelaskan
pendapat para fukaha tentang benda untuk tumpuan sujud-mengatakan, “Tidak boleh
bersujud di atas sesuatu selain tanah dan yang tumbuh darinya tidak boleh pada
kulit dan wol, misalnya-menurut ijma para ulama kami. Sedangkan kebanyakan
fukaha membolehkannya”
Dalam hal itu, para ulama Syi.ah
sejalan dengan para imam mereka yang merupakan sandingan dan pasangan Alkitab
dalam hadis tsaqalain. Di sini, kami merasa cukup dengan menyebutkan beberapa
hadis yang diriwayatkan yang berkenaan dengan masalah tersebut:
Ash-Shaduq meriwayatkan hadis
melalui sanadnya dari Hisyam bin al-Hakam bahwa ia berkata kepada Abu.
Abdi"ah as, “Beritahukanlah kepadaku benda-benda yang boleh dijadikan
tumpuan sujud dan yang tidak boleh dijadikan untuk itu.” Abu. Abdillah as
menjawab, “Sujud itu tidak boleh dilakukan selain pada tanah atau sesuatu yang
tumbuh darinya kecuali yang biasa dimakan atau dijadikan pakaian” la bertanya
lagi, “Demi yang diriku menjadi tebusan Anda, apa sebab demikian?” Abu Abdillah
as menjawab, “Karena sujud adalah merendahankan diri kepada Allah Azza wa
Jalla. Tidak sepatutnya sujud dilakukan pada sesuatu yang biasa dimakan dan
dijadikan pakaian karena pencinta dunia adalah budak dari apa yang dimakan dan
dipakainya. Sedangkan orang yang bersujud adalah sedang beribadat kepada Allah.
Azza wa Jalla. Tidak sepantasnya ia meletakkan dahinya di atas sesuatu yang
djsembah oleh para pencinta dunia yang tertipu oleh tipuannya”
Tidaklah heran kalau para ulama
Syi'ah mengharuskan sujud di atas tanah atau sesuatu yang tumbuh darinya yang
tidak biasa djmakan dan digunakan untuk pakaian karena mengikuti para imam
mereka. Sebab, hadis-hadis yang diriwayatkan di kalangan Ahlusunah telah
menguatkan pandangan mereka. Akan tampak hal itu dalam hadjs-hadis dari mereka.
Dari situ akan tampakjelas bahwa yang disunahkan adalah bersujud di atas tanah.
Kemudian diberikan keringanan untuk bersujud di atas tikar (yang terbuat dari
daun kurma atau bambu) .Keringanan untuk bersujud di atas benda selain itu
tidak diberikan, bahkan dilarang, sebagai- mana yang akan dijelaskan berikut
ini.
Seorang ahlj hadis, an-Nuri,
meriwayatkan hadis dalam al-Mustadrak dari para pemuka Islam dari Ja 'far bin
Muhammad dari bapaknya, dari moyangnya dari ‘Ali as bahwa Rasulullah saw
bersabda, “Tanah itu baik bagimu.Darinya kalian bertayamum, di atasnya kamu
salat dalam kehidupan di dunia ini, dan ia menjadi tempat tinggalmu ketika
mati. Yang demikian itu adalah kenikmatan dari Allah. Bagi-Nya segala pujian.
Benda yang paling baik untuk dijadikan tumpuan sujud orang yang salat adalah
tanah yang bersih."
Juga diriwayatkan dari Ja'far bin
Muhammad as bahwa ia berkata, “Hendaklah orang yang mengerjakan salat
menempelkan dahinya pada tanah ketika bersujud dan melumuri wajahnya dengan
debu karena hal itu termasuk penghinaan diri kepada Allah." (Mustadrak
al-Wasa’il ,juz 4, termasuk bab-bab Mayasjudu 'alayh. Barangkali hadis ini
keluar pada awal-awal hijrah. Ketika itu kaum Muslim hanya bersujud di atas
tanah. Tidak ada pertentangan antara hadis tersebut dan hadis lain yang
menyebutkan adanya keringanan bersujud pada apa yang tumbuh di atas tanah.
Asy-Sya'rani berkata, “Yang
dimaksud dengan ketundukan adalah dengan kepala termasuk wajah yang rnerupakan
anggota tubuh paling mulia untuk bersentuhan dengan tanah, baik dengan dahi
maupun hidung. Bahkan, rnenurut rnereka, dengan hidung adalah lebih utama
karena hidung sering dijadikan alat untuk menyombongkan diri. Apabila ia
menempelkan hidungnya pada tanah, seakan-akan ia keluar dari kesombongan yang
terdapat pada dirinya di hadapan Allah SWT. Karena, Hadhirat Ilahi haram
dimasuki oleh orang yang pada dirinya terdapat sifat sombong walau- pun sebesar
atom. Hadhrat Ilahi itu adalah surga yang agung. Nabi saw bersabda, 'Tidak akan
masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat sifat sombong walaupun sebesar
atom.” (AI-Yawtiqit wa al-Jawlihir fi 'Aqa.id al-Akabirkarya 'Abdul Wahhab bin
Ahmad bin 'Ali al-Anshari al-Mishri yang lebih dikenal dengan panggilan
asy-Sya'rani (tennasuk ulama abad ke-10). 1/164, cet. pertama.)
Imam al-Maghribi al-Maliki
ar-Rudani mengutip hadis marfu , dari Ibn ' Abbas: "Barangsiapa yang tidak
melekatkan hidungnya bersama dahinya pada tanah ketika bersujud, tidak sah
salat- nya." (Muhammad bin Muhammad bin Sulaiman al-Maghribi (wafat tahun
1049), Jam' al-Fawa.id minJami' al-Ushiil dan Majma' az-Zawa.id, 1/214.
no.1515.)
2. Perbedaan antara ”sujud
kepadanya" dan "sujud di atasnya". Banyak orang mengatakan bahwa
sujud di atas tanah atau sesuatu yang tumbuh darinya adalah bid'ah. Mereka juga
mengatakan bahwa batu tempat sujud adalah berhala. Mereka tidak bisa membedakan
antara “sujud kepadanya" (masjud lahu) dan "sujud di atasnya"
(masjud 'alayh). Mereka mengira bahwa batu yang diletakkan di hadapan orang
yang sedang salat adalah berhala yang disembah orang itu dengan melekatkan dahi
di atasnya. Akan tetapi, tidaklah heran kalau Syi'ah tidak mempedulikan paham
yang menyimpang itu yang tidak bisa membedakan di antara kedua hal tersebut.
Mereka mengartikan masjud 'alayh dengan masjud lahu. Perbuatan seorang monoteis
dianalogikan kepada perbuatan seorang politeis, karena keserupaan hal-hal yalng
tampak secara lahiriah. Mereka berhujah dengan rupa dan bentuk yang tampak.
Padahal yang menjadi ukuran adalah hal-hal yang batin dan tersembunyi. Berhala
bagi kaum paganis (penyembah berhala) adalah sesembahan dan yang disujudi.
Mereka meletakkannya di hadapan mereka, serta rukuk dan bersujud kepadanya.
Akan tetapi seorang monoteis
ingin mengerjakan salat dalam menampakkan peribadatan hingga akhir urutannya
adalah untuk nienundukkan diri kepada Allah dan bersujud kepada-Nya. la
meletakkan dahi dan wajahnya di atas tanah, batu, kerikil, dan pasir: Hal itu
merupakan manifestasi persamaan dirinya .dengan benda-benda tersebut sambil
berkata, " Aku dari tanah, dan Dia adalah Tuhan segala tuhan."
Orang yang bersujud di atas tanah
(turbah) tidak beribadat kepada tanah itu. Melainkan, ia menghinakan diri
kepada Tuhan-nya dengan bersujud di atas tanah itu. Orang yang memandang
sebaliknya adalah orang yang dungu yang akan meragukan semua orang yang salat
dan menganggap mereka sebagai musyrik. Maka barangsiapa yang bersujud di atas
permadani, kain, dan sebagainya juga harus dipandang sebagai menyembah
benda-benda tersebut Sungguh mengherankan.
3. Sunah tentang sujud pada
zarnan Rasulullah saw dan sesudahnya.
Nabi saw dan para sahabatnya
biasa bersujud di atas tanah selama jangka waktu yang tidak sebentar. Mereka
menanggung derita akibat panas yang luar biasa, tanah berdebu, dan lumpur
selama bertahun-tahun. Pada waktu itu, tidak ada seorang pun yang bersujud di
atas pakaian dan lipatan serban, bahkan tidak pula di atas tikar (yang terbuat
dari daun kurma atau bambu) Yang dapat mereka lakukan untuk menghilangkan panas
itu dari dahi hanya1ah dengan mendinginkan kerikil dengan telapak tangan
mereka. Kemudian mereka bersujud di atasnya. Sebagian mereka telah mengadu
kepada Rasulullah saw karena panas yang luar biasa. Tetapi beliau tidak
memberikan jawaban. Sebab, beliau tidak dapat mengubah perintah Allah nienurut
pendapatnya sendiri. Sehingga kemudian diberikan keringanan untuk bersujud di
atas tikar kecil dan tikar yang terbuat dari daun kurma. Maka dalam hal itu ada
keleluasaan bagi kaum Muslim, namun dalam lingkup terbatas: Berdasarkan uraian
di atas, pada masa itu berlaku dua fase pada kaum Muslim, sebagai berikut:
1. Kaum Muslim diwajibkan
bersujud di atas tanah dengan berbagai jenisnya berupa debu, pasir, kerikil,
dan lumpur. Dalam hal itu tidak ada keringanan untuk bersujud di atas benda
lain.
2. Kaum Muslim diberi keringanan
untuk bersujud di .atas (benda yang terbuat dari) sesuatu yang tumbuh di atas
tanah, seperti kerikil, tikar bambu, dan tikar daun kunna. Hal itu dimaksudkan
untuk memberikan keringanan kepada mereka dan menghilangkan kesulitan mereka.
Tidak ada fase lain yang memberikan keleluasaan kepada kaum Muslim lebih dari
itu, sebagaimana yang diklaim sebagian orang. Berikut ini penjelasannya:
Fase Pertama: Sujud di Atas
Tanah
Dua kelompok meriwayatkan hadis
dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda, ”Bagiku tanah dijadikan tempat untuk
bersujud dan suci." (Shahih al-Bukhari. 1/91. kitab at-Tayammum. hadis no-
2 dan Sunan al- Baihaqi, 2/433, bab Aynamti adTakatka ash-shaltit fa shalli fa
huwa masjid. Hadis ini diriwayatkan pula oleh para penulis kitab-kitab Shahih
dan Sunan yang lain.)
Yang dipahami dari hadis di atas,
bahwa setiap bagian dari tanah adalah tempat sujud dan suci untuk dijadikan
tempat bersujud dan untuk bertayamum. Berdasarkan hal tersebut, tanah
dimaksudkan untuk dua hal, yaitu untuk tempat sujud dan untuk bertayamum.
Yang menafsirkan riwayat
tersebut, bahwa ibadah dan sujud kepada Allah swr itu tidak dikhususkan pada
suatu tempat ter- tentu, melainkan seluruh tanah (bumi) adalah tempat bersujud
(masjid) bagi kaum Muslim, berbeda dengan umat lain yang mengkhususkan
peribadatan hanya di gereja dan sinagoge, tidak menyimpang dari apa yang telah
kami sebutkan. Karena, jika tanah itu secara mutlak merupakan tempat sujud bagi
orang yang me- ngerjakan salat maka lazimnya seluruh tanah itu layak untuk
dijadikan tempat ibadah. Tidak disebutkan makna keharusan dalam ungkapan kami
di atas yang menunjukkan penyebutan kata “suci" (thuhuran) setelah kata
“tempat sujud" (masjadan) dan menjadikan keduanya sebagai objek ( maful)
dari kata kerja ju'ilat ( dijadikan ) . Kesimpulannya, penjelasan sifat tanah,
yaitu bahwa tanah itu adalah tempat untuk bersujud dan bahwa tanah itu suci.
Inilah dipahami al-Jashshash. la berkata, "Yang menjadikan tanah itu
tempat bersujud adalah juga yang menjadikan tanah itu suci.
Masih ada beberapa orang penafsir
hadis selain ia yang berpendapat sama dengannya.
Mendinginkan Kerikil untuk Tempat
Sujud
1. Dari Jabir bin. Abdu11ah
a1-Anshori: “Saya pernah sa1at Zuhur bersama Nabi saw. Lalu saya mengambil segenggam
kerikil. Saya menggenggamnya, dan membolak-balikkannya pada telapak tangan yang
lain hingga kerikil itu menjadi dingin. Kemudian saya meletakkannya pada dahi
dan bersujud di atasnya. Hal itu saya lakukan karena hari sangat panas.”
Al-Baihaqi memberi komentar
terhadap hadis itu dengan katanya: Syekh itu berkata, "Kalau boleh
bersujud pada pakaian yang dikenakan, tentu hal itu lebih mudah dilakukan
daripada mendinginkan kerikil dengan telapak tangan, lalu meletakkan- nya untuk
tempat sujud."
Kami mengatakan: Kalau bersujud
di atas pakaian secara mutlak, baik yang dikenakan maupun yang tidak dikenakan
itu dibolehkan, tentu hal itu lebih mudah dilakukan daripada mendinginkan
kerikil. Selain itu, lebih mudah menggunakan sapu tangan dan sejenisnya untuk
tempat bersujud.
2. Anas meriwayatkan: Pemah kami
bersama Rasulullah saw pada hari yang sangat panas. Lalu sa1ah seorang di
antara kami meng- ambil segenggam kerikil. la mendinginkannya dan meletak-
kannya untuk tempat sujud.
3. Diriwayatkan dari Khabab bin
al-Arat: Kepada Rasulullah saw kami mengadukan perihal panasnya dahi kami
(ketika bersujud di atas tanah) .Tetapi beliau tidak menanggapi pengadu- an
kami.
Tentang makna hadis ini, Ibn
al-Atsir berkata, "Ketika itu mereka mengadukan kepada Nabi saw derita
yang mereka rasakan. Tetapi beliau tidak memperkenankan mereka untuk bersujud
di atas ujung baju mereka."
Hadis-hadis tersebut menerangkan
bahwa yang ditetapkan di dalam salat adalah berlakunya sujud di atas tanah
saja. Sehingga Rasulullah saw tidak memperkenankan kaum Muslim untuk bersujud
di atas pakaian yang dikenakan ataupun yang tidak dikenakan. Sekalipun
Rasulullah saw bersifat pemurah dan mengasihi orang-orang Mukmin, beliau
mewajibkan mereka agar melekatkan dahi mereka pada tanah walaupun mereka merasa
sakit karena tanah itu sangat panas.
Yang menerangkan keharusan kaum
Muslim bersujud di atas tanah dan Nabi saw terus-menerus melekatkan dahinya
pada tanah itu, tidak pada pakaian yang dikenakan, seperti lipatan serban, atau
yang tidak dikenakan, seperti sapu tangan dan sajadah, adalah banyak hadis yang
meriwayatkan tentang perintah melekatkan tanah ( tatrib)-pada dahi.
Perintah Penaburan Debu (Tatrib )
1. Diriwayatkan dari Khalid
al-Jahani: Nabi saw melihat Shuhaib bersujud sambil seakan-akan membersihkan
debu (di atas tempat sujudnya) .Maka beliau menegumya, "Lekatkanlah debu
pada wajahmu, hai Shuhaib!"
2. Tampaknya Shuhaib menghindari
melekatkan dahinya pada tanah dengan bersujud di atas pakaian yang dikenakan
dan yang tidak dikenakan, tidak semata-mata bersujud di atas tikar (yang
terbuat dari daun kurma atau bambu) dan batu yang bersih. Bagaimanapun, hadis
itu menyatakan keutamaan ber- sujud di atas tanah daripada bersujud di atas
kerikil ketika hal itu dibolehkan.
3. Ummu Salamah ra meriwayatkan:
Rasulul1ah saw melihat salah seorang budak kami yang bemama Af1ah meniup tempat
sujud ketika akan bersujud. Maka beliau berkata, "Hai Aflah, biar- kanlah
tempat itu berdebu."
4. Dalam riwayat lain disebutkan,
"Hai Rabah, lekatkanlah wajah- mu pada tanah."
5. Abu ShaIih meriwayatkan: Saya
menemui Ummu Salamah. Lalu masuk ke rumahnya seorang anak saudaranya. la salat
dua rakaat di situ. Ketika bersujud, ia meniup debu (di atas tempat sujudnya)
.Maka Ummu Salamah menegurnya, "Hai anak saudaraku, janganlah kamu meniup
debu dari tempat sujudmu. Saya pernah mendengar Rasulullah saw berkata kepada
seorang budaknya yang bemama Yasar-yang meniup debu dari tempat sujudnya,
"Lekatkan1ah wajahmu pada tanah karena AIlah."
Perlntah Mengangkat Serban dari
Dahi
1. Diriwayatkan bahwa apabila
bersujud, Nabi saw mengangkat serbannya dari dahinya.20
2. Diriwayatkan dari 'Ali Amirul
Mukminin, bahwa ia.berkata, " Apabila seseorang dari kamu melaksanakan
salat, hendaklah ia mengangkat serban dari dahinya." Yakni, tidak bersujud
di atas lipatan serban.
3. Shalih bin Hayawan as-Siba’i
meriwayatkan bahwa Rasulullah saw melihat di sampingnya seseorang sedang
bersujud, sementara serban melekat pada dahinya. Maka Rasulullah saw mengangkat
serban itu dari dahinya.
4. Diriwayatkan dari 'Iyadh bin'
Abdullah al-Qurasyi: Rasulullah saw melihat seseorang sedang bersujud di atas
lipatan serbannya. Maka beliau memberi isyarat dengan tangannya agar orang itu
mengangkat serbannya sambil menunjuk pada dahinya.
Riwayat-riwayat tersebut
mengungkapkan bahwa pada masa itu kaum Muslim tidak memiliki kewajiban-dalam
bersujud kecuali bersujud di atas tanah. Ketika itu tidak ada keringanan apa
pun selain mendinginkan kerikil. Kalau pada saat itu ada ke- ringanan, tentu
mereka melakukannya. Tetapi justru Rasulullah saw memerintahkan agar wajah
dilekatkan pada tanah dan serban diangkat dari dahi.
Fase Kedua, Keringanan Bersujud
di atas Tikar
Riwayat-riwayat tersebut terdapat
dalam kitab-kitab Shahih, Musnad, dan kitab-kitab hadis lainnya. Semuanya
menjelaskan kebiasaan Rasulullah saw dan para sahabatnya bersujud di atas tanah
dan sebagainya. Mereka juga tidak pernah menggantinya dengan benda lain
walaupun merasa berat dan harus menahan panas. Akan tetapi, terdapat juga
dalil-dalil yang menjelaskan ke- ringanan dari Nabi saw-melalui pewahyuan dari
Allah swt untuk bersujud di atas setiap benda yang tumbuh di atas tanah. Dengan
cara itu mereka diberi kemudahan dalam bersujud, dan menghilangkan kesusahan
dari mereka karena panas (ketika cuaca sangat panas) dan dingin (ketika cuaca
sangat dingin), danjika tanah itu basah. Berikut ini saya kemukakan dalil-dalil
tersebut:
1. Diriwayatkan dari Anas bin
Malik: Rasulullah saw pernah salat di atas tikar kecil (khumrah).
2. Diriwayatkan dari Ibn ' Abbas:
"Rasulullah saw pernah salat di atas tikar kecil." Dalam redaksi yang
lain disebutkan, "Nabi saw pernah sa1at di atas tikar kecil.
3. Diriwayatkan dari ' Aisyah:
Nabi saw pemah salat di atas tikar kecil.
4. Diriwayatkan dari Ummu
Salamah: Rasulullah saw pemah salat di atas tikar kecil.
5. Diriwayatkan dari Maimunah:
Rasulullah saw pernah salat di atas tikar kecil. Lalu beliau bersujud di atasnya.
6. Diriwayatkan dari Ummu Sulaim:
Rasulullah saw pemah salat di atas tikar kecil.
7. Diriwayatkan dari .Abdullah
bin .Umar: Rasulu1lah saw pemah salat di atas tikar kecil.
Bersujud di atas Pakaian karena
Uzur Anda telah mengetahui dua fase yang telah dibahas sebelumnya. Kalau
terdapat fase ketiga, tentu hal itu adalah fase dibolehkannya bersujud di atas
selain tanah dan yang tumbuh di atasnya tanpa ada uzur atau keadaan darurat.
Tampaknya, keringanan ini berlaku pada masa-masa terakhir setelah berlakunya
dua fase di atas. Padahal Anda tahu bahwa Nabi saw tidak menanggapi pengaduan
para sahabat yang mengadukan penderitaan mereka akibat panas yang luar biasa.
Beliau dan para sahabatnya terus bersujud di atas tanah dengan menahan panas
dan sakit. Akan tetapi, Allah SWT memberikan keringanan untuk menghilangkan
kesulitan dalam bersujud dengan membolehkan bersujud di atas pakaian bila ada
uzur dan keadaan darurat. Berikut ini dalil-dalilnya.
1. Diriwayatkan dari Anas bin
Malik: Ketika kami salat bersama Rasulunah saw, salah seorang di antara karni
tidak dapat melekatkan: dahinya pada tanah. Maka ia menarik bajunya, kemu-
diari bersujud di atasnya.
2. Dalam Shahih al-Bukhari
disebutkan: Kami pernah salat bersama Nabi saw. Kemudian salah seorang dari
karni meletakkan “\1jung bajunya (di hadapannya) karena sangat panas. Ketika ia
tidak mampu melekatkan dahinya pada tanah, ia menarik bajunya itu.
3. Dalam hadis lain disebutkan:
Ketika karni salat bersama Nabi saw, salah seorang dari kami meletakkan ujung
bajunya pada tempat sujud karena sangat panas.
Riwayat-riwayat yang dikutip para
penulis kitab-kitab Shahih dan Musnad ini mengungkapkan kebenaran beberapa
hadis yang diriwayatkan dalam masalah ini, tentang bolehnya bersujud di atas
pakaian bukan dalam keadaan darurat. Padahal, riwayat dari Anas menyatakan
bahwa mereka melakukan hal itu karena darurat. Maka hal itu menjadi alasan
untuk melakukan pemutlakan ( dalam bersujud di atas pakaian ) .Berikut ini
beberapa riwayat berkenaan dengan hal itu:
1. Abdullah bin Mahraz
meriwayatkan dari Abu Hurairah: Rasulullah saw salat di atas lipatan serbannya.
Riwayat ini, walaupun
bertentangan dengan hadis tentang larangan Rasulullah saw bersujud di atasnya,
mencakup adanya uzur dan darurat. Hal itu telah dijelaskan oleh Syekh
al-Baihaqi dalam Sunan-nya. Syekh itu berkata, " Adapun riwayat tentang
larangan Nabi saw bersujud di atas lipatan serban tidak ter- bukti sedikit pun.
Riwayat yang sahih berkenaan dengan hal itu ada1ah yang diriwayatkan al-Hasan
al-Bashri dari para sahabat Nabi saw."
Telah diriwayatkan dari Ibn
Rasyid: Saya melihat Makhul bersujud di atas serbannya. Saya bertanya,
"Mengapa engkau bersujud di atas serban?" Ia menjawab, "Saya
menghindari dingin yang membuat ngilu gigi-gigi saya."
2.Dari Anas diriwayatkan: Kami
salat bersama Nabi saw. Kemudian salah seorang dari kami bersujud di atas
bajunya.
Dalam riwayat ini tersirat suatu
uzur dengan alasan yang telah karni riwayatkan. Dari al-Bukhari diriwayatkan:
Kami salat bersama Nabi saw ketika hari sangat panas. Karena tidak dapat
melekatkan wajahnya pada tanah, salah seorang dari karni membentangkan
pakaiannya, lalu bersujud di atasnya.
Hadis itu dikuatkan dengan hadis
yang diriwayatkan an- Nasa 'i: Apabila kami salat di belakang Nabi saw pada
tengah hari, kami bersujud di atas baju kami untuk menghindari panas.
Terdapat beberapa riwayat pendek
yang menyebutkan bahwa Nabi saw salat di atas tikar kulit. Sedangkan, apakah
beliau bersujud di atas tikar kulit itu, tidak disebutkan.
3. Diriwayatkan dari al-Mughirah
bin Syu'bah: Rasulullah saw sa1at di atas tikar daun kurma dan kulit yang telah
disamak.
Riwayat ini-merupakan hadis lemah
karena dalam sanadnya terdapat nama Yunus bin al-Harits-tidak meyebutkan sujud.
Di sini tidak dibedakan antara salat di atas kulit dan bersujud di atasnya.
Barangkali saja beliau saw melekatkan dahinya pada tanah atau apa saja yang
tumbuh di atasnya. Dengan asumsi adanya pembedaan itu pun, hadis tersebut tidak
kuat. Selain itu, di dalamnya terkandung pengertJan yang telah kami bahas pada
dua hadis sebelumnya.
Kesimpulan Pembahasan Orang yang
memperhatikan riwayat-riwayat itu akan menemukan. tanpa keraguan. bahwa masa1ah
sujud da1am salat melewati dua atau tiga fase. Pada fase pertama. kewajiban
bersujud di atas tanah dan tidak ada keringanan bagi kaum Muslim untuk ber-
sujud di atas selainnya. Pada fase kedua. terdapat keringanan untuk bersujud di
atas sesuatu yang tunbuh di atas tanah. Di luar dua fase ini. tidak ada fase
lain kecuali bolehnya bersujud di atas baju karena ada uzur atau da1am keadaan
darurat. Yang tampak dari beberapa riwayat tentang bolehnya bersujud di atas
kulit dan sebagainya secara mutlak tersirat pengertian darurat atau tidak ada
penjelasan tentang bersujud di atasnya., Melainkan yang ditunjukkan di situ
hanya1ah salat di atasnya.
Dari sini tampak dengan jelas
bahwa apa yang dianut kaum Syi'ah adalah yang dibawa sunah Nabi. Mereka tidak
menyimpang darinya sedikit pun. Barangka1i para fukaha lebih mengetahui ha1 itu
dari orang lain. Sebab. mereka ada1ah orang-orang yang mendapat kepercayaan
mengemban risalah dan dalil-dalil syariat. Kami mengajak mereka untuk
memberikan sedikit saja perhatian untuk mengikuti kebenaran dan meningga1kan
bid 'ah.
Rahasia da1am Membawa Tanah yang
Suci Masih ada satu pertanyaan yang dikemukakan banyak saudara kita Ahlusunah
tentang sebab kaum Syi.ah mengambil tanah yang suci dalam perjalanan (safar)
dan ketika menetap di tempat, serta bersujud di atasnya, tidak di atas yang
lain. Barangkali orang-orang awam-seperti telah kami sebutkan-membayangkan
bahwa kaum Syi.ah bersujud kepada tanah itu, bukan bersujud di atasnya. Mereka
menyembah batu dan tanah. Hal itu karena orang-orang yang patut dikasihani itu
tidak bisa membedakan antara bersujud di atas tanah dan bersujud kepada tanah.
Apa pun masalahnya, jawaban atas
pertanyaan ini sangat jelas. Sebab, menurut Syi.ah, dipandang baik mengambil
tanah yang suci dan baik karena keyakinan akan kesuciannya, dari tanah mana dan
dari belahan dunia yang mana tanah itu diambil, semua itu sama.
Keharusan ini sama seperti
keharusan orang yang salat untuk menyucikan tubuh, pakaian, dan tempat
salatnya. Rahasia keharusan membawa tanah (turbah) adalah karena keyakinan akan
kesucian setiap tanah yang didiaminya. la mengambilnya untuk digunakan sebagai
tempat sujud, yang mungkin saja tidak tersedia di suatu tempat yang didatangi
seorang Muslim dalam perjalanannya. Apalagi di tempat-tempat yang didatangi
berbagai kelompok manusia, baik Muslim maupun bukan Muslim, baik yang berpegang
pada prinsip kesucian maupun tidak. Dalam hal itu seorang Muslim dihadapkan
pada ujian besar ketika hendak mengerjakan salat. Ketika itu ia tidak menemukan
tempat untuk mengambil tanah suci bagi dirinya yang diyakini kesuciannya.
Karenanya ia bersujud di atas turbah ketika salat sebagai sikap hati-hati agar
tidak bersujud di atas kotoran atau najis yang tidak dapat mendekatkan diri
kepada Allah, tidak diperkenankan dalam sunah, dan tidak dapat diterima akal
sehat. terutama setelah ada penegasan jelas tentang kesucian anggota badan
orang yang salat dan pakaian, serta ada larangan salat di tempat-tempat seperti
tempat sampah. tempat pemotongan hewan, tengah jalan, toilet, dan tempat
menderum unta. Bahkan diperintahkan untuk mem- bersihkan masjid dan memberinya
wewangian.
lni merupakan kaidah yang berlaku
di kalangan ulama salaf yang saleh. Tetapi sejarah lupa menukilnya. Telah
diriwayatkan bahwa seorang ahli fiqih dari kalangan tabi’in. Masniq al-Ajda.
(wafat tahun 62 H) dalam setiap perjalananya selalu membawa batu bata untuk
bersujud di atasnya. Hadis itu pun diriwayatkan Ibn Abi Syaibah dalam kitabnya
al-Mushannf; bab “Siapa yang membawa sesuatu tempat bersujud di atas kapal
laut". la me- riwayatkan hadis itu melalui dua sanad, bahwa Masruq apabila
bepergian dengan kapal laut selalu membawa batu bata untuk bersujud di atasnya.
Sarnpai di sini, jelaslah bahwa
orang Syi'ah mewajibkan dirinya membawa tanah tempat sujud semata-mata untuk
memudahkan seseorang da1arn urusan salat, baik ketika ia sedang da1arn
perjalanan maupun ketika menetap, karena khawatir tidak menemukan tanah yang
suci atau tikar (dari tumbuh-tumbuhan) sehingga ia tidak mendapatkan kesulitan.
Ini pun sama seperti kaum Muslim menyimpan tanah yang suci untuk bertayamum.
Rahasia mengapa orang Syi'ah
melazimkan dirinya untuk menyukai bersujud di atas tanah dari kuburan al-Husain
ada1ah untuk tujuan-tujuan mulia dan maksud-maksud yang agung. Ha1 itu akan
mengingatkan orang yang salat di atas tanah tersebut terhadap pengorbanan Imam
a1-Husain khususnya, serta ahlulbait dan para sahabat pilihannya da1am membela
akidah dan prinsip- prinsip agama, serta menumpas kela1iman dan kerusakan.
Sujud merupakan rukun salat yang
paling agung. Dalam sebuah hadis disebutkan: “Keadaan hamba yang pa1ing dekat
kepada Tuhannya adalah ketika bersujud." Maka pantaslah untuk melekatkan
dahi pada tanah yang disucikan oleh orang-orang yang menjadikan tubuh mereka
sebagai kurban bagi kebenaran dan ruh-ruh mereka terangkat ke haribaan Allah
(al-Mata' al-A 1al untuk tunduk, khusyuk, merendahkan diri. Ruh-ruh mereka
meremehkan keduniaan pa1su dan perhiasannya yang fana. Barangkali inilah yang
dimaksud bahwa bersujud di atas tanah dapat merobek tujuh tabir, sebagaimana
yang disebutkan di da1am hadis. Da1am sujud terdapat sebuah rahasia kenaikan
dan mikraj dari tanah kepada Tuhan semesta a1am.
Allamah al ‘Amini berkata, “Kami
mengambil. segenggam tanah Karba1a untuk bersujud di atasnya, sebagaimana ahli
.fiqih salaf, Masruq bin a1-Ajda', sela1u membawa batu bata yang terbuat dari
tanah Madinah al-Munawwarah untuk bersujud di atasnya. Orang itu ada1ah murid para
khalifah rasyidun, ahli fiqih Madinah, yang mengajarkan sunah, dan menghindari
bid'ah. Dalam hal itu tidak ada dendam dan kelaliman, sikap yang bertentangan
dengan seruan Al-Qur'an, penyimpangan dari sunnatullah dan sunah Rasul-Nya saw,
atau keluar dari hukum akal.
Menjadikan tanah Karbala sebagai tempat
sujud bagi kaum Syi'ah bukan fardu yang tak bisa ditawar-tawar, bukan kewajiban
syariat dan agama, bukan keharusan mazhab. Sejak semula, siapa pun dari mereka
tidak membedakan antara tanah tersebut dengan tanah dari bumi yang lain dalam
hal boleh sujud di atasnya. Ini berbeda dengan yang selama ini diduga oleh
orang-orang yang tidak mengenal mereka dan pandangan-pandangan mereka. Bagi
mereka, hal itu hanyalah merupakan pandangan baik ( istihsan) menurut akal,
lain tidak. Itu hanya pilihan terhadap sesuatu yang lebih baik menurut akal dan
logika untuk dijadikan tempat ber- sujud, sebagaimana yang telah Anda ketahui.
Banyak penganut mazhab tersebut yang selalu membawa tanah selain tanah Karbala yang layak untuk
dijadikan tempat bersujud, seperti tikar daun kurma yang suci dan bersih serta
diyakini kesuciannya, atau benda- benda yang semisalnya. Mereka bersujud di
atas benda tersebut dalam salat mereka.
Ini merupakan pembahasan secara
garis besar berkenaan dengan masalah fiqih ini. Perinciannya diserahkan kepada
ahlinya. Hal itu telah dibahas oleh para ulama dan pemuka agama kontemporer.
Berikut ini di antaranya.
1. Syekh Muhammad Husain Kasyif
Ghitha' (1295-1373 H) dalam kitabnya al-Ardh wa at- Turoah al-Husayniyyah.
2. Syekh Abdul Husain al-Amini
penulis kitab al-GhadiT (1320- 1390 H). Ia telah menulis sebuah risalah tentang
masalah ini yang diterbitkan dalam lampiran kitabnya Siratuna wa Sunnatuna.
3. As-Suj.d ‘ala al-Ardh karya
Allamah Syekh ‘Ali al-Ahmadi semoga Allah melanggengkan kemuliaannya.
Apa yang telah kami kemukakan
dalam masalah ini adalah kutipan dari pengetahuan mereka. Semoga Allah
merahmati para u1ama kita terdahulu dan memelihara para u1ama kita yang masih
ada.
Bukan Masalah Pertama dalam Islam
Telah disepakati bahwa bersujud
di atas tanah, tikar dari daun kurma ( al-hashir) , tikar dari bambu (
al-bawtin') , dan sebagainya merupakan sunah. Sedangkan bersujud di atas
permadani, sajadah, dan sebagainya merupakan bid 'ah. Hal itu merupakan
pengetahuan (sulthan) yang diturunkan Allah swr. Akan tetapi, sayang sekali,
sunah telah menjadi bid'ah dan bid'ah telah dijadikan sunah. Kalau seseorang
mengamalkan sunah di masjid-masjid dan sujud di atas tanah dan batu,
perbuatannya dikatakan bid'ah, dan orang itu disebut ahli bid'ah. Namun, ini
bukan satu-satunya )alah. Kita telah melihat berbagai pandangan dalam mazhab
yangempat. Kami sebutkan dua masalah di antaranya.
1.Syekh Muhammad bin' Abdurrahman
ad-Dimasyqi berkata: sunah dalam masalah kuburan adalah meratakannya, ini
merupakan hal utama menurut pendapat yang dipilih dari mazhab Syafi'i. Abu
Hanifah dan Malik berkata, "Meninggikan kuburan itu lebih utama, karena
meratakannya merupakan syiar kaum Syi'ah.
2.Imam ar-Razi berkata: al-Baihaqi
meriwayatkan hadis dari Abu f-Iurairah: Rasulullah saw menjaharkan (mengeraskan
bacaan) bismillahirrahmanirrahim dalam salatnya. ' Ali ra juga mengeeraskan
bacaan basmalah dalam salatnya. Hadis itu.mutawatir. Ali bin Abi Thalib
berkata, "Wahai Zat Yang sebutan-Nya merupakan kemuliaan bagi para
pezikir, apakah pantas orang berakal
berusaha menyembunyikannya?"
Kaum Syi'ah mengatakan bahwa yang
merupakan sunah ada- mengeraskan bacaan basmalah baik dalam salatjahar (seperti
subuh, magrib, dan isya) maupun salat Sirr (seperti zuhur dan asar) .
Mayoritas ulama berpandangan
sebaliknya. Sehingga mereka matakan, "' Ali berlebih-lebihan dalam
mengeraskan bacaan nalah." Tetapi, ketika pemerintahan beralih ke tangan
Bani Umayyah, mereka berlebih-lebihan da1am melarang bacaan basmalah dikeraskan sebagai upaya untuk menghilangkan
jejak-jejak ‘Ali ra.***
dinukil Allamah al-Amini dalam al-GhadiT, 10/209. 44
Ar-Razi, Maflitihul Gaibi, I, hal. 205-206.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar